Translete This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 31 Mei 2011

DA’WAH DALAM ERA REFORMASI DAN TEKNOLOGI MODERN


BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan maju mundurnya umat islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Dakwah adalah suatu aktifitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau mengajak kepada orang lain unutk mengamalkan ajaran islam. Dakwah merupakan suatu proses penyampaian ajaran islam yang dilakukan secara sadar dan sengaja.
Aktifitas kegiatan dakwah dilakukan dengan berbagai cara atau metode dan direncanakan dengan tujuan mencari kebahagian hidup dengan dasar keridhoan Allah SWT.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah membawa manusia menuju peradaban modern, suatu peradaban yang ditandai dengan banyak dimanfaatkannya teknologi untuk membantu aktivitas manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selalu mempunyai ambivalensi yang saling bertolak belakang, disatu sisi mempunyai dampak positif yang dapat membantu kehidupan manusia akan tetapi disisi lain berdampak negatif yang dapat merugikan kehidupan manusia. Dari segi positif mungkin tidak perlu untuk dibicarakan karena sudah banyak kita rasakan manfaatnya. Akan tetapi dampak negatif yang ditimbulkan, justru harus menjadi bahan pemikiran semua orang untuk dicarikan jalan keluarnya.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi, terutama dampak dari kemajuan teknologi informasi dan teknologi komunikasi telah membawa umat manusia kedalam gaya hidup hedonisme dan konsumerisme sehingga menjerumuskan mereka kedalam dunia gemerlap (dugem) yang tidak memperdulikan lagi halal atau haram dan maksiat menjadi suatu kebanggaan serta orang orang telah lalai akan kewajibannya terhadap Kholiqnya, bukankah sudah jelas dalam Al Qur’an terdapat suatu ayat yang menjelaskan akan kewajiban manusia, yaitu bahwa manusia diciptakan hanya semata mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Mungkin itu sedikit gambaran dari kondisi umat sekarang ini. Walaupun penulis juga tidak menutup mata, bahwa masih ada saudara saudara kita yang masih istiqomah dalam menjalankan ajaran ajaran Islam. Akan tetapi hal itu masih sedikit jika dibandingkan dengan orang orang yang telah dilalaikan oleh gemerlapnya kehidupan dunia yang hanya sementara ini.





BAB II
PEMBAHASAN
DA’WAH DALAM ERA REFORMASI DAN TEKNOLOGI MODERN

A.    Eksistensi Dakwah dalam Islam
Urgensi dakwah dalam Islam dapat ditinjau dari beberapa sudut, diantaranya dari sejarah awal penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad SAW pembawa risalah Allah. Secara global dakwah Islamiyah pada zaman Rasul dapat dikategorikan kepada empat tahapan : pertama dakwah secara sembunyi-sembunyi. Dakwah ini dilaksanakan Nabi selama tiga tahun. Kedua dakwah secara terang-terangan hanya dengan lisan saja. Dakwah ini berlangsung sampai hijrah Rasulullah. Ketiga dakwah secara terang-terangan sekaligus memerangi kaum musyrik yang berlaku zalim dan menantang untuk berperang. Fase ini berlangsung sampai perjanjian perdamaian hudaibiyah. Keempat dakwah secara terang-terangan sekaligus memerangi setiap orang yang menolak untuk masuk Islam dan mencoba menghalau aktifitas dakwah dan proses ini berlanjut sampai tegaknya syari’at dan timbulnya hukum jihad dalam Islam.
Pasca wafatnya Rasul tongkat estafet perjuangan beliau dalam menyebarkan risalah suci ini dilanjutkan oleh para sahabatnya seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, kemudian oleh para Tabi’in dan tabi’at tabi’in dan seterusnya.
Jika aktifitas dakwah ditinjau dari sumber teks-teks syariat, maka akan ditemukan natijah yang sama atau bahkan akan semakin tampak kedudukunnya. Dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung hal ini. Diantaranya adalah ayat ” Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang benar dan mencegah dari yang munkar. Pada kesempatan lain Allah berfirman yang artinya :”Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata.
Dalam sunnah Rasul banyak sekali hadis-hadis yang menjelaskan tentang ungensinya aktifitas dakwah. Seperti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadits tersebut menjelaskan tentang tahapan-tahapan untuk melawan kemungkaran dan secara otomatis mengajak pelakunya untuk kembali kepada jalan yang lurus. Rasul pun pernah bersabda ”Sampaikan dari saya kepada mereka walaupun hanya satu ayat. Pada kesempatan lain beliau berkata” Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pelakunya.
Ternyata julukan umat dakwah yang menghinggapi komunitas ummat Islam juga merupakan bukti kuat betapa telah mengakarnya aktifitas dakwah dalam doktrim Islam. Status hukum berdakwah bagi orang Islam itu sendiri merupakan kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Akan tetapi setiap muslim hanya bertanggung jawab dalam hal dakwah sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya. Apabila seorang muslim tidak mampu melaksanakan kewajiban dakwah dengan sendirinya, maka dia masih bisa berdakwah dengan menjadi donatur (baik berupa harta, tulisan maupun pandangan) kepada para akar dan ulama yang mampu melaksanakan misi suci ini.

B.     Dakwah Pada Masa Reformasi
Ketika era Reformasi melahirkan banyak partai-partai, maka banyak juga tampil partai-partai, yang berani menyatakan prinsip berasas Islam. Kehadiran partai-partai itu, masih tetap dilihat sebagai bahaya. Aliran politik Islam tetap dicurigai. Ada kecemasan tersendiri. Hal ini telah terjadi, mungkin dikarenakan politisi nasionalis yang bernafas dalam keterikatan dengan paham liberalisme ala barat, dan berdalih demokratisasi. Banyak pula yang mulai menghembus nafas dalam slogan Islam Yes, Partai Islam No.
Ketika pimpinan umat dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), dan Dewan Da’wah, menyerukan kepada umat Islam di Indonesia, untuk tetap memilih calon-calon legislatif yang seaqidah iman atau beragama Islam, maka seruan itu, dinilai tidak proporsional. Seruan pemimpin umat Islam dianggap sangat meresahkan. Bahkan, dinilai membahayakan, bagi kelangsungan kehidupan bernasional. Sangat aneh yang terjadi, perkembangan politik umat Islam sangat lemah, di negeri yang jumlah umat Islamnya terbilang banyak. Perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, adalah fenomena politik yang paling menonjol dalam masyarakat.
Porsi kekuasaan yang diperoleh setiap kekuatan sosial masyarakat berujung pada menerjemahkan cita‑citanya menjadi kenyataan konkrit. Setiap kelompok sosial politik, lewat kekuasaan yang diperoleh, selalu berusaha melakukan alokasi otoritatif nilai‑nilai yang diyakininya. Demikianlah yang telah terjadi, sejak tahun 1960, tahun 1966, dan tahun 1998.
Demokratisasi yang dibungkus oleh stabilitas keamanan, sangat sering dijadikan penekan, untuk tujuan melemahkan peranan politik umat Islam, sejak dari masa Demokrasi Terpimpin.
Akibat langsung yang tampak dan dirasakan adalah, banyak pemimpin umat yang menduduki pucuk pimpinan di partai Islam ditahan dan dipenjarakan. Mohamad Natsir dan Boerhanoeddin Harahap berada dalam tahanan politik dari tahun 1961 hingga 1967. Bapak Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M.Yunan Nasution, E.Z. Muttaqin dan KH Isa Anshary, ditahan pula di Madiun pada tahun 1962. Demikian juga Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono, Mr. Kasman Singodimejo di Sukabumi. Penangkapan dan penahanan terhadap S. Soemarsono, A. Mukti, Djanamar Adjam, KH.M. Syaaf dan lain. Kebanyakan pemimpin bekas partai Masyumi. Pemimpin kecil di daerah-daerah juga ikut merasakan tekanan-tekanan, setidak-tidaknya dikucilkan. Suatu dinamika perjalanan sejarah politik di Indonesia.
Kemudian, banyak pula partai-partai yang telah membubarkan diri, karena berseberangan dengan kebijaksanaan pemerintah Presiden Soekarno. Namun, tetap dianggap berlawanan dengan Pemerintah Orde Baru.
Partai Islam sangat menentang komunisme, tetapi masih tetap disebut, tidak sejalan dengan Orde Baru. Padahal, perjalanan sejarah pemerintahan Orde Baru, dimulai dengan menghapus semua paham politik komunis di Indonesia. Tetapi, gelar yang dicapkan dengan “kontra revolusi”, atau bekas “partai yang dilarang”, masih terus berjalan, hingga puluhan tahun kemudian. Walaupun zaman telah berganti, namun kekuatan umat Islam tetap didorong kepinggiran arena percaturan politik berbangsa.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, timbul beberapa pertanyaan, di antaranya, apakah rasa nasionalisme Natsir dan kawan-kawan, yang pernah memimpin Partai Politik Islam Masyumi itu, masih diragukan ?.
Padahal, Mohamad Natsir menilai, nasionalisme adalah fithrah manusia mencintai tanah air yang diyakini sebagai anugerah (rahmat) Allah. Agama Islam mengajarkan agar umatnya menjaga tanah airnya sebagai suatu suruhan Agama Islam. Nasionalisme menurut Natsir, harus mendapatkan nafas keagamaan agar tidak menimbulkan perasaan ta’ashub dan chauvinisme. Karena itu, sejak usia mudanya, Natsir selalu terlibat di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mohamad Natsir menerima pandangan dalam perjuangan, bahwa pembentukan sebuah negara bangsa (nation-state) adalah suatu keharusan. Negara Bangsa, adalah sebuah alat yang perlu untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam kedalam situasi konkrit.Mohamad Natsir menganut keyakinan bahwa politik harus ditundukkan kepada etika yang tinggi. Dengan cara itu, keinginan untuk berkuasa sendiri, tidak sesuai dengannya, dan paham menghalalkan segala cara, harus dihindari jauh-jauh.
Salah paham terhadap Masyumi selalu saja ada. Namun, bila diteliti tujuan Masyumi di dalam anggaran dasarnya, tertera jelas adalah untuk memperjuangkan terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, dalam menuju keridhaan Allah. Dalam pandangan politik-nya, Masyumi sangat konsekwen menentang komunisme dalam segala bentuk.
Pemaksaan kehendak kepada rakyat kecil, telah men-jauhkan masyarakat dari pemerintahnya. Pancasila seakan hanya dijadikan sebagai mantel. Pancasila tidak lagi menjadi falsafah hidup dalam kehidupan berbangsa. Ironis sekali yang terjadi. Organisasi agama juga tidak boleh berazaskan agamanya. Dalam proses sosial secara tidak sadar telah memasuki full‑grown sekularisme.
Tanpa terasa dominasi golongan minoritas mulai mengganggu rasa keadilan masyarakat luas. Muncul usaha de-Islamisasi.
Karena itu, era reformasi yang bergulir sesudahnya, di tahun 1998, sungguh menjadi harapan baru bagi rakyat Indonesia, menuju perubahan. Tetapi, ternyata reformasi belum lagi menyentuh hal-hal yang substasi dalam membangun kehidupan bernegara. Kelihatannya, reformasi baru pada tatanan bungkus saja. Esensi kekuasaan masih bertahan pada kelompok yang mengandalkan kekuatan politik yang besar. Belakangan, kekuasaan berpindah ke tangan yang menguasai sumber keuangan yang melimpah. Demokrasi jadi semacam komoditi yang diperjual-belikan. Masih terasa jauh dari kebenaran dan keadilan. Sementara, kekuatan umat Islam, masih dianggap mencemaskan.

C.    Teknologi Modern
Pada tahun-tahun sebelum masehi, kemajuan proses komunikasi dimulai pada saat ditemukannya seperangkat lambang dan simbol-simbol yang dapat dipahami maknanya secara luas. Perkembangan selanjutnya adalah ditemukannya sejumlah sarana untuk menulis maupun menggambarkan lambang dan simbol-simbol tersebut. Meskipun pada akhirnya aksara atau huruf ditemukan, namun lambang dan simbol-simbol berupa gambar-gambar lebih dulu ditentukan sebagai pengganti suara dalam berkomunikasi.
Sedangkan untuk periode modern, meskipun mesin cetak ditemukan di Cina pada abad ke-10, namun teknologi komunikasi baru dinyatakan berkembang pada tahun 1440, tahun di mana mesin cetak yang lebih efisien ditemukan oleh Johannes Gutenberg mencetak Bibel untuk pertama kali, moment ini dianggap sebagai revolusi kedua di bidang komunikasi.
Film dimasukkan ke dalam kelompok komunikasi massa. Selain mengandung aspek hiburan dan informasi, juga memuat pesan edukatif. Namun aspek sosial kontrolnya tidak sekuat pada surat kabar atau televisi yang memang menyiarkan berita berdasarkan fakta. Fakta dalam film ditampilkan secara abstrak, tema cerita bertitik tolak dari fenomena yang terjadi di tengah masyarakat dan  dalam film, cerita dibuat secara imajinatif. Film sebagai alat komunikasi massa baru dimulai pada tahun 1901, ketika Ferdinand Zecca membuat film “The Story of Crime” di Perancis dan Edwar S. Porter membuat film “The Life of an American Fireman” tahun 1992.
Film suara baru ditemukan pada tahun 1927. Dari masa ke masa, film mengalami perkembangan, termasuk soal warna yang semula hitam putih sekarang sudah berwarna. Namun, film tidak disebut sebagai komunikasi atau media massa, karena media massa lebih berkonotasi kepada media yang memuat berita yang digarap oleh para reporter atau wartawan. Film lebih banyak difahami sebagai media hiburan semata yang diputar di bioskop dan televisi.[1]
Televisi mulai dapat dinikmati oleh publik Amerika Serikat (AS) pada tahun 1939, yaitu ketika berlangsungnya “World’s Fair” di New York, namun sempat terhenti ketika terjadi Perang Dunia II. Sekarang , sudah sekitar 750 stasiun televisi terdapat di negara Paman Sam itu. Tak heran, bila televisi akhirnya menjadi kebutuhan hidup sehari-hari di seluruh penjuru AS dan merupakan kekuatan yang luar biasa dalam komunikasi massa. Lebih dari 75 juta pesawat televisi digunakan secara tetap.[2]
Pada tahun 1946, televisi dinikmati sebagai media massa ketika khalayak dapat menonton siaran Rapat Dewan Keamanan PBB di New York. Dewasa ini, setiap negara telah mempunyai pemancar televisi. Bahkan melalui parabola yang terhubung dengan satelit, pemirsa dapat menikmati siaran dari luar negaranya seperti yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian arus berita dan informasi lewat televisi semakin beragam.
Namun demikian, penyiaran televisi ke rumah pertama dilakukan pada tahun 1928 secara terbatas ke rumah tiga orang eksekutif General Electric, menggunakan alat yang sederhana. Sedangkan penyiaran televise secara elektrik pertama kali dilakukan pada tahun 1936 oleh British Broadcasting Coorporation. Semetara di Jerman penyiaran TV pertama kali terjadi pada tanggal 11 Mei 1939. Stasiun televisi itu kemudian diberi nama Nipko, sebagai pengahargaan terhadap Paul Nikov.[3]
Televisi selain menyajikan aspek hiburan, juga menyiarkan berita, yang ada antaranya bersifat sosial kontrol. Karena itu, televisi sebagai media massa telah menjadi salah satu kebutuhan masyarakat di rumah tangga masing-masing.
Sebagai media massa yang muncul belakangan dibandingkan media cetak, televisi baru berperan selama tiga puluh tahun. ‘Kotak ajaib’ ini sendiri lahir setelah adanya beberapa penemuan tekhnologi, seperti telepon, telegraf, fotografi (yang bergerak dan tidak bergerak) serta rekaman suara. Terlepas dari semua itu, pada kenyataannya media televisi kini dapat dibahas secara mendalam, baik dari segi isi pesan maupun penggunaannya.
Bangsa Indonesia baru pada tahun 1962 mendirikan stasiun televise mlik Pemerintah yaitu TVRI dalam rangka mensukseskan Asian Games 1963. Selanjutnya pada thun 1976 Bangsa Indonesia mengadakan lompatan dalam dunia komuniasi dengan diluncurkannya satelit komunikasi dengan nama Sistem Komunikasi  Satelit Domestik (SKSD) Palapa, pada waktu itu Indonesia adalah Negara kedua setelah Canada dan Negara pertama di Asia yang memiliki satelit.
Komputer pertama yang bernama Colossus 1, dibuat di Amerika Serikat pada awal tahun 1941. Perkembangan-perkembangan sebelumnya, yang merintis lahirnya komputer modern adalah dimulai dari berkembangnya aljabar logik dari George Boole (Inggris), yang dikembangkan oleh Charles Babbage yang menghasilkan kalkulator manikal yang dinamakan ‘Differential Engine’.
Dari perkembangan tersebutlah, lalu pada tahun 1937 seorang insyinyur Amerika, Howard Aiken merancang IBM Mark 7, yang menjadi cikal-bakal dari komputer besar masa kini, yang mengunakan tabung hampa udara dan memiliki tombol-tombol elektromagnetik, bukan elektronik.  Komputer elektronik yang pertama yang telah dituliskan bernama Colossus 1, akhirnya dibuat oleh Alan Turing dan M.H.A Neuman, untuk pemerintah Britania di universitas Manchester.[4]
Dari kemunculan komputer inilah yang di kemudian hari terus berkemembang dan akhirnya lahirlah internet  sebagai media baru. Tahun 1972 merupakan awal kelahiran jaringan internet, yaitu dengan adanya proyek yang menghubungkan antara jaringan komunikasi pada jaringan komputer ARPANET. Proyek tersebut telah menetapkan sebuah metoda baru untuk menghubungkan berbagai macam jaringan yang berbeda yang dikenal sebagai konsep gateway. Pada tahun 1973-1977, dikembangkan protokol TCP/IP (Transmission Control/Internetworking Protocol). Protokol ini digunakan untuk pengiriman informasi yang dikenal sebagai paket (packet).[5]
Internet baru dimanfaatkan di Indonesia pada tahun 1996. Seseorang yang mempunyai pesawat komputer dapat menyambungkannya dengan jaringan komputer lainnya lewat satelit melalui provider. Perbedaannnya dengan teknologi komunikasi lainnya bahwa internet bersifat individual.

D.    Era Globalisasi dan Informasi
Telah sepuluh tahun kita memasuki melenium ketiga sejak tahun 2000, era ini sering dinamakan orang dengan era globalisasi karena didorong oleh kemajuan  informasi yang telah menjadi power ketiga setelah kekuasaan dan uang. Pada era ini persaingan adalah suatu konsekuensi logis dari  percaturan skala global dalam dunia tanpa batas (bordeless world). Untuk itu memenangkan persaingan profesionalitas merupakan kata kunci yang harus diupayakan, profesional dalam bekerja, profesional dalam pelayanan dan sebagainya yang harus didukung oleh tenaga-tenaga yang berkualitas. Suatu yang mustahil bagi kita untuk memenangkan suatu persaingan bila cara kerja tidak profesional. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita bisa bersaing mengahadapi percaturan tingkat global sekarang ini di saat kita sedang terpuruk oleh krisis ekonomi dan sumber daya manusia yang kurang memadai ?
AFTA tahun 2003 telah mulai, Cina-AFTA tahun 2010 sudah dicanangkan. Waktu berjalan terus dan tidak pernah menunggu, globalisasi mau tidak mau atau suka tidak suka pasti akan datang dan bahkan sudah mulai. Ibarat banjir, globalisasi tidak akan menunggu dengan alasan bahwa kita sedang  sakit, dan  banjir akan datang pada waktunya tanpa peduli dengan kondisi orang lain. Oleh karena itu mempersiapkan diri menghadapinya adalah suatu sikap penting terlepas ekonomi dan sumber daya yang ada masih lemah. Untuk itu bagi kita perlu membuat langkah strategis dan taktis yang smart (cerdas) termasuk strategi berdakwah.
Kenichi Ohmay[6] dalam tulisannya ‘The End of The Nation State” (Berakhirnya Negara Bangsa – 1995) mengatakan bahwa globalisasi tersebut ditandai dengan “four I’s” atau ”4 huruf I”, yaitu Investment, Industry, Information Technology, dan Individual Cosumer. Dalam era negara tanpa batas ini seseorang tidak lagi mempertimbangkan ini negara saya atau bukan, tidak peduli negara tersebut jauh dari tanah airnya, sebab mereka sudah menjadi penduduk desa global (Global Village).yang ditunjang oleh “Information and Communication Technology” (ICT). Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi orang tidak akan merasakan jauh dari manapun walaupun ia berada di seberang dunia sana.[7] Teknologi satelit, telepon seluler dan perkembangan internet dengan keunggulan e-mailnya hubungan menjadi mudah antara penduduk di berbagai negara tanpa hambatan,  kapan saja bisa dihubungi bahkan bisa menerapkan teleworking (bekerja secara jarak jauh, bisa di rumah atau di negara lain), telemeeting (rapat jarak jauh), dan tele-edukasi atau pelatihan dan pendidikan jarak jauh, bahkan akhir-akhir ini telah berkembang jejaring social seperti Facebook dan Twitter yang sangat fenomenal.

E.     Perubahan Paradigma
Disengaja atau tidak arus informasi internasional yang dikuasai oleh kecanggihan teknologi komunikasi kini kelihatan didukung oleh konsep kebebasan informasi menurut pandangan barat (filsafat liberalism).[8] Perkembangan teknologi komunikasi juga mengakibatkan perubahan institusi seperti perubahan lembaga-lembaga pendidikan, munculnya system pendidikan Jarak Jauh atau terbuka, e-learning, distance and open learning dll. Dalam bidang ekonomi dan perdagangangan, dengan munculnya e- Banking, e-comers, e-money, dan resesvasi tiket pesawat dan hotel melalui internet.dalam bidang dakwah sudah muncul cyber dakwah, dakwah on line, situs I Love Islam, dan life style.  Konsekuensi dari semua itu media massa yang dulunya adalah lembaga social sekarang berkembang menjadi institusi industri yang yang umumnya  berorientasi  kepada profit.

F.     Dakwah dan Tantangannya
Media massa dengan kecanggihan teknologinya saat ini lebih memudahkan proses penyebaran dakwah. Paul Lazarsfeld dan Robert K Merton juga melihat media dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan.[9] Sejalan dengan itu harus dipahami manfaat dan mudharat teknologi informasi dan komunikasi, serta secara sadar memanfaatkannya untuk mencapai tujuan kita, bukan tujuan-tujuan  mereka (pembuat dan pencipta teknologi) . Artinya kita sebagai pengguna informasi baik sebagai subjek atau pun objek jangan sampai terjebak  dengan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dabalik kecanggihan media tersebut.
Dengan demikian tantangan para dai untuk berdakwah  semakin tinggi, disaat akses terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan  komunikasi semakin terbuka akan tetapi dilain pihak profesionalisme lembaga dakwah dan para dai dituntut lebih baik, serta tantangan yang paling berat adalah dikala memanfaatkan media yang yang sudah menjadi industry yang profitable untuk tujuan dakwah, dibalik pesan-pesan yang disampaikan. Sebab  pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin diabaikan
Disinilah titik perjuangan atau jihad di bidang dakwah oleh para dai atau lembaga dakwah, dimana kalau dulu bangsa-bangsa  berjuang menguasai wilayah atau berjuang untuk kemerdekaan wilayahnya, sekarang orang mulai berjuang bidang baru yaitu informasi  agar tidak dikendalikan oleh yang menguasai informasi,[10] dalam rangka membebaskan umat dari dari sifat-sifat kejahiliahan modern dengan pendekatan bil hikmah.  Menurut Sayid Quthub (1997:22 dalam Enjang As, dkk) dakwah dengan metode hikmah akan terwujud apabila memperhatikan tiga factor. Pertama, keadaan dan situasi orang-orang yang didakwahi. Kedua, ada atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar mereka tidak merasa keberatan dengan beban materi tersebut. Ketiga, metode penyampaian materi dakwah dengan membuat variasi sedemikian rupa yang sesuai dengan kondisi pada saat itu.[11]
Pada akhir abad ke 20an di dunia muslim lahir sebuah kesadaran untuk membangun paradigm baru yang diharapkan dapat memberikan keseimbangan (sintesis) antara paradidigma Timur dan Barat, dan sekaligus dapat menjadi paradigma alternative yang dapat menyembatani perbedaan yang cukup controversial antara paradigma  timur yang disebut-sebut paradigm yang disebut sabagai pradigma yang bersifat mistis, religious, serta alamiah denga paradigm Barat yang bersifat positivistik, mekanistik, dan ilmiah. Di mana keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.[12] Memahami paradigma dan komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung dan akhirnya dapat diketahui apa yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.[13]
Merubah paradigma berpikir dan budaya kerja adalah langkah strategis yang harus dimulai sekarang ini juga (tanpa menunda sedetikpun), yaitu agar  berorientasi kepada sasaran khalayak dan ummah (to client or market oriented) dengan pendekatan “bil hikmah wal mauizah hasanah” dan dengan pemanfaatan media (bi al-tadwin). Langkah strategis tersebut harus diimbangi dengan sumber daya yang berkualitas yang akan menjadi juru dakwah behind the media, behind the technology, behind the screen dan on the screen. Tujuannya adalah menyadarkan kaum muslimin, mendidik jiwa mereka dan membekalinya dengan ketakwaan yang cukup untuk memperlihatkan kepadanya keharusan menyatukan barisan.[14]
Seperti media internet yang akhir-akhir ini perkembangannya sangat fenomenal memiliki pengaruh langsung yang sangat kuat kepada pembacanya. Internet mampu menggerakkan prilaku massa sesuai dengan arah yang dikehendakinya. Kenyataanya massa tidak memiliki daya apa-apa, sehingga karena kehalustajamannya itu, Jalaluddian Rakhmat melukiskannya ibarat seorang pasien yang tidak berdaya apa-apa setelah dimasuki sejenis serum melalui jarumkecil dalam tubuh.[15] Fenomena tersebut dapat kita amati dengan terbentuknya  keluarga-keluarga besar elektronik bersatu dalam jaringan social dan jaringkan kerja yang lebih besar, Jaringan-jaringan  tersebut akan memberikan jasa pelayan sosial atau bisnis yang diperlukan melalui asosiasi-asosiasi.[16] Jaringan social di dunia maya tersebut sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sarana dakwah. Tentu saja kita tidak boleh melupakan  dan mengabaikan tenaga-tenaga yang akan mengisi aktifitas dakwah di mesjid-mesjid dan majelis taklim.

BAB III
PENUTUP

Dakwah merupakan suatu proses penyampaian ajaran islam yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah membawa manusia menuju peradaban modern, suatu peradaban yang ditandai dengan banyak dimanfaatkannya teknologi untuk membantu aktivitas manusia.
Dakwah dalam era reformasi dan teknologi modern sudah sangat berbeda dengan dakwah pada zaman Rasulullah SAW.
Ketika era Reformasi melahirkan banyak partai-partai, maka banyak juga tampil partai-partai, yang berani menyatakan prinsip berasas Islam. Kehadiran partai-partai itu, masih tetap dilihat sebagai bahaya. Aliran politik Islam tetap dicurigai. Ada kecemasan tersendiri. Hal ini telah terjadi, mungkin dikarenakan politisi nasionalis yang bernafas dalam keterikatan dengan paham liberalisme ala barat, dan berdalih demokratisasi. Banyak pula yang mulai menghembus nafas dalam slogan Islam Yes, Partai Islam No.
Dakwah dalam era reformasi terlihat pada berdirinya partai-partai yang berlandaskan Islam. Dakwah Islam diserukan lewat partai-partai karena pada zaman era reformasi banyak berdiri partai politik. Dalam hal ini Islam juga mendirikan partai politik tapi tetap berasaskan Ahlussunah wal Jama’ah. Sedangkan pada masa Teknologi modern sekarang ini dakwah Islam diserukan lewat banyaknya teknologi audio maupun visual, seperti : radio, televisi, komputer yang dihubungkan lewat internet. media massa/cetak seperti koran, buku,dll.
Media massa dengan kecanggihan teknologinya saat ini lebih memudahkan proses penyebaran dakwah. Sejalan dengan itu harus dipahami manfaat dan mudharat teknologi informasi dan komunikasi, serta secara sadar memanfaatkannya untuk mencapai tujuan kita, bukan tujuan-tujuan  mereka (pembuat dan pencipta teknologi). Kita sebagai pengguna informasi baik sebagai subjek atau pun objek jangan sampai terjebak  dengan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dibalik kecanggihan media tersebut.
Dengan demikian tantangan para dai untuk berdakwah  semakin tinggi, disaat akses terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan  komunikasi semakin terbuka akan tetapi dilain pihak profesionalisme lembaga dakwah dan para dai dituntut lebih baik, serta tantangan yang paling berat adalah dikala memanfaatkan media yang yang sudah menjadi industry yang profitable untuk tujuan dakwah, dibalik pesan-pesan yang disampaikan. Sebab  pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin diabaikan

DAFTAR PUSTAKA







[1] Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, op. cit, h. 27.
[2] Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa, Sebuah Analisis Media Televisi, (Jakarta, PT RinekaCipta, 1996), h. 6.
[3] Muhammad Mufid, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, (Jakarta: Prenada MediaGroup, 2007),  h. 29.
[4] Bill Yenne, Seri Sekilas Mengetahui, 100 Peristiwa yang Berpengaruh Di Dalam Sejarah Dunia, op.cit, h. 198.
[5] Edhy Sutanta, Komunikasi Data & Jaringan Komputer, (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005), h. 13.
[6] Edhy Sutanta, Komunikasi Data & Jaringan Komputer, (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005), h. 13.
[7] Arief S Sadiman dan Zamris Habib, Penerapan Teknologi Pendidikan memasuki Milenium III pada Sektor Pendidikan Sekolah dan Luar Sekolah, dalam Jurnal Teknodik, no. 8/IV/Teknodik/Mei/2000, Pustekkom, Jakarta, hal.25.
[8] Muis, A. Komunikasi Islami, PT Remaja Karya, Bandung, 2001, hal 19.
[9] L. Rivers, Wiliam dan W. Jensen, Jay, Media Massa dan Masyarakat Modern, Terjemahan, Prenada Grup, Jakarta, 2008, hal. 35.
[10] Ziauddin Sardar, Information and Muslim World : A Strategy for 21’st Century, 1988/Tantangan Dunia Islam Abad 21, Mizan. Bnadung, 1988.
[11] Enjang As, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Pendekatan Filosofis danPraktis, Widya Padjadjaran, Bandung,, 2009, hal. 89.
[12] Enjang As, dalam Dimensi Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hal. 85.
[13] Mulyana, dedy, Komunikasi Antar Budaya, Roda Jaya, Bandung 2005, ha. 12.
[14] Ar-Rasyid, Ahmad Muhammad, Khittah Dakwah, Robbani Press, Jakarta, 2005, hal. 337.
[15] Rakmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 1988, hal.88
[16] Alvin Toffler, The Third Wave, Panca Simpati, Jakarta, 1973

Minggu, 29 Mei 2011

Syiah


 Oleh : Maulana Abdul Hamid, MA


BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.





BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Syi’ah
a.    Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)”.[1]
b.   Syi’ah secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlulbait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi Muhammad) masih hidup.[2]
c.   Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw ialah keluarga Nabi saw sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw) dan ‘Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya.[3]
d.  Perkataan Syi’ah secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara khusus, perkataan “Syi’ah” mengandung pengertian syi’atu ‘Aliyyin, pengikut atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.[4]
e.    Kata Syi’ah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syi’ah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.[5]
f.   Secara lingusitik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah saw yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.[6]

2.      Sejarah Syi’ah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib. Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.[7]
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi.[8] Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad saw telah tumbuh sejak beliau masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw.[9]
Terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah dan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.[10]

3.      Tokoh-tokoh Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq, bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu atau mempelajari hasil pemikiran-pemikirannya. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna ‘Asyariyah.[11]
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.[12]

Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:
1.                        Nashr bin Muhazim
2.                        Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
3.                        Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
4.                        Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
5.                        Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
6.                        Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
7.                        Ali bin Babawaeh al-Qomi
8.                        Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
9.                        Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
10.                    Muhammad bin Hamam al-Iskafi
11.                    Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
12.                    Ibn Qawlawaeh al-Qomi[13]
13.                    Ayatullah Ruhullah Khomeini
14.                    Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
15.                    Sayyid Husseyn Fadhlullah
16.                    Murtadha Muthahhari
17.                    ‘Ali Syari’ati
18.                    Jalaluddin Rakhmat[14]
19.                    Hasan Abu Ammar[15]

4.      Ajaran-ajaran Syi’ah
a.         Ahlulbait.
        Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer.[16]
b.         Al-Bada.
        Dari segi bahasa, bada berarti tampak, yang sebelumnya masih samar-samar atau berarti pula munculnya pendapat baru. Bada’ dengan beberapa arti di atas berkaitan erat dengan di dahuluinya ketidaktahuan, atau muculnya pengetahuan baru, sifat tersebut mustahil bagi Allah swt, akan tetapi Syiah menisbatkan sifat “bada” ini kepada Allah swt.[17]
        Ar-Rayyan bin As-Shalt berkata:

سمعت الرضا عليه السلام يقول : ما بعث الله نبيا إلا بتحريم الخمر وان يقر لله بالبداء.

saya pernah mendengar Ar-Ridho berkata: Allah tidak mengutus nabi kecuali diperintahkan untuk mengharamkan khamr, dan diperintahkan untuk menetapkan sifat bada’ kepada Allah.[18]

Abu Abdillah berkata seseorang belum dianggap beribadah kepada Allah sedikitpun, sehingga ia mengakui adanya sifat bada’ pada Allah swt.[19]

c.    Asyura.  
Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.[20]
Acara-acara yang hina ini mereka lakukan setiap tahun, dan perlu diketahui bahwa Rasulullah saw melarang perbuatan ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tentang pelarangan memukul pipi dan menyobek-nyobek saku. Syiah (rafidha) adalah sekte yang paling banyak mendustakan hadist nabi.[21]

d.     Imamah (kepemimpinan).
        Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah kenabian.[22] Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.[23] Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash.[24]

e.      ‘Ishmah.
        Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa.[25] Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.[26]
        Dikutip oleh Al-Kuilani dalam bukunya Ushulul Kaafi: Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata

نحن خزان علم الله نحن تراجمة امر الله نحن قوم معصومون ، امر الله تعالي بطاعتنا ونهي عن معصيتنا نحن حجة الله البالغة علي من دون السماء وفوق الأرض.

Kami adalah gudangnya ilmu Allah dan kami penterjemah perintah Allah serta kami kaum yang ma’sum, semua manusia diwajibkan taat kepada kami, dan dilarang menyelisihi kami, dan kami menjadi saksi atas perbuatan manusia di bawah langit dan di atas bumi.[27]

Al-Khumaini berkata dalam salah satu tulisannya:
“Bahwa para imam mereka lebih utama dari pada para nabi dan rasul, dan mereka memiliki kedudukan atau tingkatan yang tidak tercapai oleh para malaikat dan para rasul. Ia juga mengatakan :bahwa Para imam dapat mengetahui apa saja jika menghendakinya”, dari Ja’far ia berkata “Imam bisa mengetahui apa saja jika memang menghendakinya dan mereka mengetahui kapan mereka mati, dan mereka tidak akan mati melainkan karena keinginan mereka sendiri”.[28]

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Rafidhah menyangka bahwasannya urusan agama diserahkan kepada para pendeta, halal adalah yang menurut mereka halal dan haram adalah yang menurut mereka haram dan konsep keagamaan adalah yang mereka syariatkan.[29]

f.      Mahdawiyah.
        Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.[30]

g.     Marja’iyyah atau Wilayah al-Faqih.
        Kata marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqih terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.[31]    
         
h.     Raj’ah.
        Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raja’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.[32] Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr[33] mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.[34]
        Muhammad Baqir mengatakan :

إذا ظهر المعدي عليه السلام )قبيل القيامة( فإنه سينشق جدار قبر رسول الله ص م ، ويخرج أبا بكر وعمر من قبرهما فيحييهما ثم يصلبهما.
Jika Imam Mahdi telah keluar (waktu medekati qiamat), ia akan membongkar (samping) dinding kubur Rasul saw, kemudian ia akan mengeluarkan Abu Bakar dan Umar, kemudian menyalibnya.[35]

Dikatakan oleh Al-Majlisi dalam bukunya Haqqul Yaqin mengutip perkataan Muhammad al-Baqir: “Ketika Al-Mahdi muncul ia akan menghidupkan Aisyah ummmul mu’minin untuk dihukum rajam.[36]

i.        Taqiyah.
        Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.[37] Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah.[38]
Al-Kuilani menukilkan bahwa Abu Abdillah berkata : “Hai Abu Umar sesungguhnya sembilan puluh persen dari agama ini adalah taqiyyah, tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyyah dan taqiyyah mutlak dalam segala hal, kecuali dalam urusan khamar dan mengusap khuf (sepatu slop).” Dinukil juga oleh Al-Kuilani dari Abu Abdillah: “Jagalah agama kalian, tutupilah dengan taqiyyah, tidak dianggap beriman seseorang sebelum ia bertaqiyyah.[39]

j.       Tawassul.
        Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.[40]

5.      Sekte-sekte Syi’ah
Para ahli umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah golongan Isma’iliyyah.[41]
Selain itu terdapat juga pendapat lain. Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau membagi Syi’ah ke dalam lima kelompok, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat, dan Isma’iliyah.[42] Sedangkan al-Asy’ari membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah, yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.[43]
Joesoef So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu : Sekte Imamiyah (yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna ‘Asyariyah), Zaidiyah, Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan Fathimiyah.[44]
Sementara itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci sebagai berikut:
   a.         Al-Ghaliyah: Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
   b.                  Imamiyah: Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah (Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah, Yunusiah, Setaniyah.
   c.                   Zaidiyah: Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.[45]







BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 11 macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah, ‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah, tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas.
Wallâhu a’lam bi al-shawâb





















Daftar Pustaka

Muhammad as-Salafi, Min Aqa’id as-Syiah, Terj., Abu Salman., Menyingkap Kesesatan Aqidah Syiah, Bandung : Pustaka ash-Shaqiyyah.

Abdul as-Satar, Butlan Aqa’id as-Syiah, Makkah : al-Makatabah al-Imdadiyyah, 1408 H.

Abdullah, Taufik, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, cet. ke-3. 

Aceh, Abubakar. Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Solo: Ramadhani, t.t.

Al-Hafni, Abdul Mun’im. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006, cet. ke-1.

Al-Nemr, Abdul Mun’eim. Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah. T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988.

Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in. Bandung: Mizan Pustaka, 2004, cet. ke-1.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, cet. ke-4.

Karya, Soekama, dkk. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996, cet. ke-1.

Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.

Sou’yb, Joesoef. Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982, cet. ke-1.

Syari’ati, Ali. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad. Bandung: Mizan Pustaka, 1995, cet. ke-2.

Syirazi, Nashir Makarim. Inilah Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab. Jakarta: Penerbit Al-Huda, 1423 H, cet. ke-2.

Zainuddin, A. Rahman dan M. Hamdan Basyar, ed. Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan, 2000, cet. ke-1.

               


[1].              Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, h. 5.
[2].              Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 904.
[3].             Muhammad Amin Suma, dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), cet. ke-3, h. 343.
[4].             Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet. ke-1, h. 125.
[5].             Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35.
[7].             Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h.5.
[8].             Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982), cet. ke-1, h. 11. Penjelasan lebih lengkap tentang perang Shiffin dan tahkîm, lihat Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), cet. ke-1, h. 155-185.
[9].             Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), h. 17-21; http://al-shia.com/html/id/shia/moarrefi2.htm
[10].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5.
[11].            Ibid., h. 13-15
[12].            Ibid., h. 15
[13].            Poin a. – l. lihat http://www.al-shia.com/html/id/shia/bozorgan/index.htm
[14].            Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Selengkapnya lihat http://www.ijabi.org/ijabi.html; http://www.ijabi.org/pimpinan.html
[15].            Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni. 
[16].          Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 10.
[17] .         Muhammad as-Salafi, Min Aqa’id as-Syiah, Terj., Abu Salman., Menyingkap Kesesatan Aqidah Syiah, Bandung : Pustaka ash-Shaqiyyah, h. 15
[18] .         Abdul as-Satar, Butlan Aqa’id as-Syiah, Makkah : al-Makatabah al-Imdadiyyah, 1408 H, h. 24
[19] .         Muhammad as-Salafi, Terj., loc. cit. Namun dalam Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 10-11. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah lagi, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.
[20].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11. Pembahasan mengenai asyura dan tabut selengkapnya lihat Azyumardi Azra (Kata Pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar, ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan, 2000), cet. ke-1, h. 20-21.
[21] .        Muhammad as-Salafi, Terj., loc. cit.
[22].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11.
[23].            Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad  (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), cet. ke-2, h. 65.
[24].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11. Pembahasan tentang imamah secara lengkap lihat Nashir Makarim Syirazi, Inilah Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 1423 H), cet. ke-2, h. 76-92. 
[25].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11.
[26].            Ali Syari’ati, op. cit., h. 62.
[27] .        Abdul as-Satar, op. cit., h. 27
[28] .            Muhammad as-Salafi, Terj., loc. cit.
[29] .            Ibid.
[30].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11-12.
[31].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 12.
[32].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 12.
[33].            Beliau adalah mantan Menteri Wakaf dan al-Azhar, Mesir.
[34].            Al-Nemr, Sejarah…, h. 146.
[35] .           Abdul as-Satar, op. cit., h. 103
[36] .           Muhammad as-Salafi, Terj., op. cit., h. 38
[37].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 12-13. Lihat juga Syari’ati, Islam…, h. 67.
[38].            Al-Nemr, Sejarah…, h. 146. Lihat juga Syirazi, Inilah…, h. 105-107.
[39] .           Muhammad as-Salafi, Terj., op. cit., h. 41
[40].            Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13.
[41].            Ibid., h. 6.
[42].            Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), cet. ke-1, h. 572.
[43].            Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 572.
[44].                  Sou’yb, Pertumbuhan…, h. 13-196.
[45].            Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 575-576.