Translete This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 25 Juni 2011

Profesionalisme Dalam Manajemen Dakwah

BAB I
PENDAHULUAN

Manajemen sebagai ilmu lahir dari dunia Barat, tetapi inspirasi tentang perlunya manajemen dalam berbagai hal bersumber dari al-Qur’an, “bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…”  (QS. al-Hasyr :18). Allah memerintahkan kita untuk merencanakan masa depan dengan memperhatikan situasi dan potensi diri berdasarkan ajarannya demi menuju pada tujuan keberuntungan jangka panjang dengan penuh kesungguhan dan menyerap sifat-sifat Allah ke dalam diri sumber daya manusia. Perintah Allah tersebut mengisyaratkan tentang pentingnya manajemen dalam kehidupan manusia.
Berkenaan dengan aktivitas dakwah, keberadaan manajemen sangat dibutuhkan. Seorang da’i ketika hendak menyampaikan dakwahnya perlu mempertimbangkan kebutuhan dasar dari mad’u baik secara psikologis maupun sosial. Dakwah tidak akan efektif manakala obyek dakwah yang sedang lapar diberikan ceramah oleh seorang da’i. Begitu juga, seorang petani yang membutuhkan modal untuk pengembangan pertaniannya hanya diberikan ceramah-ceramah yang sifatnya teoritis tanpa memberikan solusi langsung. Jika manajemen diabaikan dalam aktivitas dakwah tentu akan berimplikasi pada keberlangsungan dakwah. Aktivitas dakwah akan mengalami penurunan, dakwah akan ditinggalkan oleh umatnya, dan lebih jauhnya agama menjadi mandul atau tidak bisa berperan dalam kehidupan masyarakat. Dalam perspektif  Islam, setiap individu adalah pemimpin (al-Hadist). Dari hadis ini menegaskan bahwa manajemen berawal dari diri sendiri. Karena ia berawal dari diri sendiri, maka dibutuhkan profesionalisme.



 
BAB II
PEMBAHASAN



1.                 1.         Profesionalisme dalam Manejemen Dakwah
Istilah profesionalisme sebenarnya sudah dikenal pada zaman salafus shalih. Istilah ini, bukanlah produk abad moderen. Hanya saja urusan seperti ini belum mendapat perhatian yang memadai dikalangan para dai dan pemimpin ummat. Seringkali kita melihat aktifitas keislaman dilakukan secara sambilan. Tanpa mengacu pada proses perencanaan (planing) yang matang. Pengelolan dakwah dalam manejemen modern kadang-kadang masih asing dalam kamus kehidupan da'i. Akibatnya, tidak akan tercapai target (hadaf) yang direncanakan, secara optimal. Suatu kegiatan disebut profesional apabila didukung oleh keahlian tertentu dan berdasarkan kualitas tertentu, yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan tertentu. Buruh bangunan misalnya, tidak disebut sebagai profesi karena hampir semua orang bisa melakukannya tanpa harus memiliki keterampilan dan keahlian. Kegiatan ini tidak disyaratkan pendidikan dan pelatihan tertentu. Oleh karena itu buruh bangunan tidak bisa disebut profesi.[1]
Sama halnya dengan pertanian konvensional tidak masuk kategori profesi. Sebab tuntutan keahliannya kecil sekali, bahkan hampir tidak ada. Berbeda halnya dengan pertanian moderen, yang memerlukan keahlian, teknologi dan perhitungan ekonomi. Sekarang bagaimana dengan petugas dakwah (rijalud-dakwah), baik guru agama, muballigh dan para ulama, dapatkah mereka digolongkan ke dalam profesionalisme ? Jika pekerjaan itu menyita seluruh waktunya dan menjadi tumpuan sumber ma'isyah (kehidupan) sekaligus mempertaruhkan reputasinya, maka pekerjaan itu termasuk profesi. Pelakunya disebut profesional.[2]
Kata profesionalisme menurut S. Wojowasito berasal dari Bahasa Inggris yang berarti jabatan, pekerjaan, pencaharian, yang mempunyai keahlian. Petersalim dalam kamus bahasa kontemporer mengartikan bahwa profesi sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu. Dengan demikian kata profesi secara harfiah dapat diartikan dengan suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian dan ketrampilan tertentu, dimana keahlian dan ketrampilan tersebut didapat dari suatu pendidikan atau pelatihan khusus.[3]
Menurut Syamsul Munir, profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa  setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang professional. Ia menambhakan bahwa orang profesional ialah orang yang memiliki profesi, dan dilkaukan untuk masyarakat  bukan untuk diri sendiri serta dididukung oleh kecakapan diognostik dan kompetisi aplikatip.[4]
Adapun aktifitas dakwah yang dilakukan secara sambilan dan nafkahnya di peroleh dari pekerjaan lain, maka kegiatan dakwah seperti ini bukan sebagai profesi dan pelakunya tidak disebut profesional. Pelaku dakwah seperti ini disebut juru dakwah amatiran. Pelaku dakwah profesional sudah tentu dituntut memiliki keahlian dan kualitas ilmu yang luas dan mendalam. Bagi mereka perlu melaksanakan kode etik profesi. Yang demikian itu sangat diperlukan karena banyak kasus penyalahgunaan agama untuk kepentingan tertentu.[5]
Apalagi bidang garap seorang da'i adalah manusia. Jika salah dalam membina, mengasuh, mendidik dan mengarahkan serta membimbing manusia, maka akan berakibat sangat fatal. Bisa saja terjadi bahan baku yang ideal dari mad'u (obyek dakwah) menghasilkan out put yang mengecewakan. Seseorang yang semula berasal dari lingkungan baik-baik menjadi anak nakal karena salah asuh dan salah didik. Itu akibat anak didik yang diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya. Potensi kebaikan yang dimiliki tidak tergali secara optimal, bahkan kecenderungan fujur(keburukan)-nya berkembang tanpa kendali. [6]
Sejarah telah membuktikan hanya para ulama'amilun (ulama yang se-ia dan sekata), orang-orang sholih dan para Nabi yang mampu mengantarkan manusia menjadi menjadi sholih, berkat petunjuk dari Allah Swt. Hanya mereka yang mampu memikul amanah tilawah, tazkiyah dan ta'lim.[7]
Suatu hari terjadi dialog sederhana seorang sahabat dengan Rasulullah saw. Sahabat bertanya, “ kapan datangnya kiamat ? Jawab Rasulullah,” Jika amanat sudah dikhianati.” Sahabat melanjutkan, “Bagaimana mengkhianati amanat itu?” Jawab Nabi Saw,” Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancuran (kiamat).” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Dakwah yang bersifat sambilan dapat dilakukan oleh semua orang. Amar ma'ruf nahi munkar adalah tugas semua muslimin. menyangkut hal itu Rasulullah Saw bersabda, sampaikanlah dariku walau satu ayat. Dakwah dalam konteks ini tidak disyaratkan kualitas ilmu dan keterampilan tertentu. Siapa saja dan dengan posisi apapun bisa melakukannya.[8]
Namun bila kita mencermati kehidupan Rasulullah saw, kita bisa melihat bahwa beliau adalah seorang da'i yang profesional. Beliau adalah seorang yang ahli dan kompeten dalam bidang dakwah ini. Dan dalam berdakwah, beliau melakukannya secara full timer. Beliau tinggalkan pekerjaan sebagai pedagang dan beralih sepenuhnya pada profesi barunya sebagai da'i. Walaupun beliau tidak meminta upah dari pekerjaan dakwahnya, tetapi beliau dapat hidup dari profesi ini. Sebagai da'i, beliau memiliki empat potensi yang bisa di jadikan bekal dalam memikul tugasnya. Yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Dua potensi yang pertama merupakan tuntutan etika dan dua potensi yang terakhir merupakan tuntutan keahlian. Seorang da'i tidak hanya dituntut memiliki kejujuran dan sikap amanah, tetapi harus memiliki keahlian komunikasi (tabligh) dan kecerdasan yang tinggi (fathonah).
Bertolak dari pemikiran di atas kita bisa menyimpulkan bahwa profesi memerlukan dua persyaratan. Yaitu komitmen, loyalitas (ketaatan) dan kecintaan terhadap profesi serta keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan keahlian tertentu. Dua tuntutan itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa saling dipisahkan. Bila salah satunya cacat, maka uang itu tidak akan bisa berfungsi sebagai alat tukar lagi. Jika kejujuran dan sikap mental amanah tidak lagi dijadikan pegangan dalam melakukan kegiatan profesi, sekalipun ilmu dan keahliannya selangit, maka sebagai profesional akan menemui kegagalan. Bahkan sosok seperti ini sangat membahayakan. Keahlian dan ilmu yang dimiliki digunakan untuk kepentingan pribadinya. Betapa banyak orang yang memiliki posisi strategis dengan mudah menyalah gunakan jabatan dan hak-hak istimewanya untuk interes pribadi dan golongan.[9]
Penulis mencontohkan, Indonesia ini tidak kurang orang ahli dalam berbagai bidang. Namun ketika lembaga (Non goverment organization) dari Jerman melakukan survey yang hasilnya diterbitkanoleh sebuah majalah der spiegel mengumumkan bahwa Indonesia adalah negara paling koruptor di Asia. Memang tingkat korupsi dan kolusi di negeri kita sudah melampui batas-batas kewajaran. Bagi yang melamar pegawai negeri, mengurus surat-surat sperti KTP, SIM, Paspor, IMB dll, di kantor-kantor pemerintah, maka setiap meja yang dilalui harus diberi uang suap, sogok dan uang pelicin lainnya. Rasulullah Saw mengingatkan : Barang siapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuknya tidak menambah ilmu (yang dimilikinya) kecuali jauh dari Allah.” (al Hadis).[10]
Masalahnya kemudian adalah keahlian, ilmu yang dimiliki itu tidak dibarengi sikap mental dan komitmen terhadap kode etik (tata nilai) yang telah diketahuinya secara baik. Akibatnya, prilaku mereka menjurus kepada sikap sadis dan brutal. Perbuatan seekor macanpun tidak akan tega menghabisi nyawa anaknya. Keahlian dan ilmu semata terbukti tidak menjamin seseorang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Bahkan aktifitas yang dilakukannya dapat mencoreng nama baiknya.

2.      Pengertian Manajemen Dakwah
Manajemen dakwah adalah terminologi yang terdiri dari dua kata, yakni manajemen dan dakwah. Kedua kata ini berangkat dari dua disiplin ilmu yang sangat berbeda sama sekali. Istilah yang pertama, berangkat dari disiplin ilmu yang sekuler, yakni Ilmu Ekonomi. Ilmu ini diletakan di atas paradigma materialistis. Prinsipnya adalah dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara itu istilah yang kedua berasal dari lingkungan agama, yakni Ilmu Dakwah. Ilmu ini diletakan di atas prinsip, ajakan menuju keselamatan dunia dan akhirat, tanpa paksaan dan intimidasi serta tanpa bujukan dan iming-iming material. Ia datang dengan tema menjadi rahmat semesta alam.
Manajemen dakwah menurut Munir, yaitu sebuah pengaturan secara sistematis dan koordinatif dalam kegiatan atau aktivitas dakwah yang dimulai dari sebelum pelaksanaan sampai akhir dari kegiatan dakwah.[11] Dengan demikian manejemen dakwah ialah suatu perangkat atau organisasi dalam mengolah dakwah agar tujuan dakwah tersebut dapat lebih mudah tercapai sesuai dengan hasil yang diharapkan.

a.       Pengertian Manejemen
Secara sederhana, manajemen menurut Zainal Muchtarom adalah upaya mengatur dan mengarahkan berbagai sumber daya, mencakup manusai (man), uang (money), barang (material), mesin (machine), metode (methode), dan pasar (market).[12] Namun, secara khusus definisi manajemen, seperti yang dikedepankan oleh G.R. Terry dalam bukunya Principles of Management, (1972, h, 4) adalah “Management is a distinct process of planing, organizing, actuating, and controlling, perform to determine and accomplish stated objektives by the use of human beings and other resources.
Definisi di atas memberikan gambaran bahwa manajemen itu mengandung arti proses kegiatan. Proses tersebut dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dengan menggunakan sumber daya lainnya. Seluruh proses tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Maluyu S.P. Hasibuan[13] menjelaskan bahwa manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur. Jadi, Manajemen itu adalah suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sedangkan menurut Brantas  adalah suatu proses atau kerangka kerja yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang ke arah tujuan-tujuan organisasi atau maksu-maksud nyata.[14]
Dengan demikian manajemen adalah ilmu dan seni yang mengatur proses pemamfaatan sumber daya manusia secara efektif, dengan didukung oleh sumber-sumber lainnya dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan.[15]

b.      Pengertian Dakwah
Sama dengan istilah manajemen, istilah dakwah pun diberi definisi macam-macam oleh para ahli. Dakwah secara bahasa menurut Abdul Aziz, merupakan sebuah kata dari bahasa Arab dalam bentuk masdar. Kata dakwah berasal dari kata: دعا־يدعو־دعوة (da’a, yad’u, da’watan) yang berarti seruan, panggilan, undangan atau do’a. Artinya proses penyampaian pesan-pesan tertentu berupa ajakan, seruan, undangan, untuk mengikuti pesan tersebut atau menyeru dengan tujuan untuk mendorong seorang supaya melakukancita-cita tertentu. Oleh karena itu, dalam kegiatanya ada proses mengajak yang disebut da’i dan orang yang diajak disebut mad’u.[16]
Sedangkan pengertian dakwah secara istilah menurut Syekh Ali Mahfudz  ialah proses pemberian motivasi untuk melakukan pesan dakwah (ajaran Islam), sebagai upaya membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kepada perbuatan munkar supaya mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Definisi dari Syaikh Ali Mahfudz menawarkan penjelasan bahwa dakwah sebagai proses mendorong manusia agar melakukan kebaikan dan menuruti petunjuk, menyuruh mereka berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[17]
Akan tetapi, definisi ini menurut Hamzah Ya’qub nampaknya belum dapat menjawab persoalan apa itu dakwah, sebagai pernyataan ontologis (hakikat) dakwah, sebab definisi tersebut belum memperlihatkan kejelasan tentang apa yang di cari, yaitu menemukan hakikat dari pertanyaan mengenai ke-apa-an dakwah.[18] Sebab dari pernyataan nya baru mengungkapkan tentang dakwah sebagai sebuah proses komunikasi atau tabligh ajaran Islam. Untuk melengkapinya mari kia lihat penjelasan dari Sayyed Qutb. Ia mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak atau mendorong orang untauk masuk ke dalam sabilillah, bukan yntuk mengikuti da’i atau bukan pula untuk mengikuti sekelompok orang.[19]
Sayyed Qutb dengan pernyataannya, seakan-akan ingin meyakinkan bahwa dalam dakwah islamiyah terdapat nilai-nilai yang universal. Definisi Sayyed Qutb tentang dakwah ini memiliki kesamaan makna dengan definisi yang di ungkapkan oleh Masdar F. Mashudi yang mengartikan dakwah islamiyah sebagai suatu proses penyadaran untuk mendorong manusia agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah nya.[20]
Berdasarkan beberapa kategori definisi dakwah di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa dakwah Islam pada dasarnya merupakan: (1) perilaku muslim dalam menjalankan Islam sebagai agama dakwah, yang dalam prosesnya melibatkan unsur da’i, pesan dakwah, metode dakwah, media dakwah, mad’u (sasaran dakwah) dalam tujuannya melekat cita-cita ajaran Islam yang berlaku sepanjang zaman dan di setiap tempat; dan (2) proses transmisi, transformasi, dan difusi serta internalisasi ajaran Islam.

3.            Ruang Lingkup Manajemen Dakwah
Ruang lingkup kegiatan dakwah dalam tataran manajemen merupakan sarana atau alat pembantu pada aktivitas dakwah itu sendiri. Karena dalam sebuah aktivitas dakwah itu akan timbul masalah atau problem yang sangat kompleks, yang dalam menangani serta mengantisipasinya diperlukan sebuah strategi yang sistematis. Dalam konteks ini, maka ilmu manajemen sangat berpengaruh dalam pengelolaan sebuah lembaga atau organisasi dakwah sampai pada tujuan yang diinginkan.
Sedangkan ruang lingkup dakwah akan berputar pada kegiatan dakwah, di mana dalam aktivitas tersebut diperlukan seperangkat pendukung dalam mencapai kesuksesan. Adapun hal-hal yang mempengaruhi aktivitas dakwah antara lain meliputi:
  • Keberadaan seorang da’i, baik yang terjun secara langsung maupun tidak langsung, dalam pengertian eksistensi da’i yang bergerak di bidang dakwah itu sendiri.
  • Materi merupakan isi yang akan disampaikan kepada mad’u, pada tataran ini materi harus bisa memenuhi atau yang dibutuhkan oleh mad’u, sehingga akan mancapai sasaran dakwah itu sendiri, dan
  • Kegiatan dakwah harus jelas sasarannya, dalam artian ada objek yang akan didakwahi.[21]

4.            Tujuan manajemen Dakwah
a.      Tujuan Manajemen
Tujuan adalah sesuatu hasil (generalis) yang ingin dicapai melalui proses manajemen. Pengertian tujuan dan sasaran hampir sama bedanya hanya gradual saja, tujuan maknanya hasil yang umum sedangkan sasaran berarti hasil yang khusus. Tujuan menurut G. R. Terry  adalah hasil yang diinginkan yang melukiskan skop yang jelas, serta memberikan arah kepada usaha-usaha seorang manajer.  Tujuan yang ingin dicapai selalu ditetapkan dalam suatu rencana, karena itu hendaknya tujuan ditetapkan ”jelas, realistis, dan cukup cukup menantang berdasarkan analisis data, informasi, dan pemilihan dari alternatif-alternatif yang ada.[22]



b.      Tujuan Dakwah
Tujuan utama dakwah menurut Rasyad Shaleh  adalah nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai dan diperoleh oleh keseluruhan tindakan dakwah yaitu Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah Swt.[23]

Tujuan dakwah secara umum menurut Munir adalah mengubah perilaku sasaran agar mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik yang bersangkutan dengan masalah pribadi, keluarga maupun sosial kemasyarakatnya, agar mendapatkan keberkahan dari Allah Swt. Sedangkan tujuan dakwah secara khusus dakwah merupakan perumusan tujuan umum sebagai perincian daripada tujuan dakwah.[24]
Akhirnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa secara umum tujuan dan kegunaan manajemen dakwah adalah untuk menuntun dan memberikan arah agar pelaksanaan dakwah dapat diwujudkan secara professional dan proporsional. Dan pada hakikatnya tujuan manajemen dakwah disamping memberikan arah juga dimaksudkan agar pelaksanaan dakwah tidak lagi berjalan secara konvensional seperti tabligh dalam bentuk pengajian dengan tatap muka tanpa pendalaman materi, tidak ada kurikulum, jauh dari interaksi yang dialogis dan sulit untuk dievaluasi keberhasilannya.[25]

5.            Fungsi-fungsi Manajemen Dakwah
Menurut Akrim Rido, fungsi Manajemen dakwah yaitu[26] :
a)      Takhthith (Perencanaan Dakwah)
Dalam aktivitas dakwah, perencanaan dakwah bertugas menentukan langkah dan program dalam menentukan setiap sasaran, menentukan sarana-prasarana atau media dakwah, serta personel da'i yang akan diterjunkan. Menentukan materi yang cocok untuk sempurnanya pelaksanaan, membuat asumsi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi yang kadang-kadang dapat memengaruhi cara pelaksanaan program dan cara menghadapinya serta menentukan alternatif-alternatif, yang semua itu merupakan tgas utama dari sebuah perencanaan.
Sementara itu Rosyad Saleh, dalam bukunya Manajemen Dakwah Islam menyatakan, bahwa perencanaan dakwah adalah proses pemikiran dan pengambilan keputusan yang matang dan sistematis, mengenai tindakan-tindakan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam rangka menyelenggarakan dakwah.[27]

b)     Tanzhim (Pengorganisasian Dakwah)
Pengorganisasian adalah seluruh proses pengelompokkan orang-ornag, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab, dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.
Sementara itu, Rosyid Saleh mengemukakan bahwa rumusan pengorganisasian dakwah itu adalah “rangkaian aktivita menyusun suatu kerangka yang menjadi wadah bagi setiap kegiatan usaha dakwah dengan jalan membagi dan mengelompokkan pekerjaan yang harus dilaksanakan serta menetapkan dan menyusun jalinan hubungan kerja diantara satuan-satuan organisasi atau petugasnya.[28]

c)      Taujih (Penggerakan Dakwah)
Pengarahan adalah seluruh proses pemberian motivasi kerja kepada para bawahan sedemikian rupa, sehingga mereka mampu bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis. Motivasi diartikan sebagai kemampuan seorang manajer atau pemimpin dakwah dalam memberikan sebuah kegairahan, kegiatan dan pengertian, sehingga para anggotanya mampu untuk mendukung dan bekerja secara ikhlas untuk mencapai tujuan organisasi sesuai tugas yang dibebankan kepadanya.

d)     Riqaabah (Pengendalian Dakwah)
Pengendalian manajemen dakwah dapat dikatakan sebagai sebuah pengetahuan teoritis praktis. Karena itu, para da’i akan lebih cepat untuk mencernanya jika dikaitkan dengan prilaku dari da'i itu sendiri sesuai dengan organisasi. Robert J. Mockler M, mengatakan bahwa elemen esensial dari proses pengendalian menajemen adalah sebuah standar prestasi kerja dengan tujuan perencanaan, untuk mendesain sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan prestasi yang sesungguhnya dengan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu.[29]
Dengan demikian, pengendalian manajemen dakwah dapat dikategorikan sebagai bagian dari prilaku terapan, yang berorientasi kepada sebuah tuntutan bagi para da'i tentang cara menjalankan dan mengendalikan organisasi dakwah yang dianggap baik. Tetapi yang paling utama adalah komitmen manajemen dengan satu tim dalam menjalankan sebuah organisasi dakwah secara efisien dan efektif, sehingga dapat menghayati penerapan sebuah pengendalian.

6.            Unsur-unsur Manajemen Dakwah
Dakwah dalam prosesnya akan melibatkan unsur-unsur (rukun) dakwah yang terbentuk secara sistematik, artinya antara unsur yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Unsur-unsur tersebut ialah da'i (pelaku dakwah), mad'u (mitra/objek dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media dakwah), thariqah (metode), dan atsar (efek dakwah).



a)      Da’i (Subjek Dakwah)
Da’i adalah orang yang mengajak kepada orang lain baik secara langsung, melalui lisan, tulisan atau perbuatan untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau menyebar luaskan ajaran Islam, melakukan upaya perubahan kearah kondisi yang lebih baik menurut ajaran Islam.

b)     Mad'u (objek dakwah)
Mad’u adalah seluruh manusia sebagai makhluk Allah yang dibebani menjalankan agama Islam dan diberi kebebasan untuk berikhtiar, kehendak dan bertanggungjawab atas perbuatan sesuai dengan pilihannya, mulai dari individu, keluarga, kelompok, golongan, kaum, massa, dan umat manusia seluruhnya.[30]
c)      Maddah (Pesan Dakwah)
Maddah adalah pesan-pesan, materi atau segala sesuatu yang harus disampaikan oleh da’I kepada mad’u, yaitu keseluruhan ajaran Islam, yang ada didalam Kitabullah maupun Sunah Rasul-Nya.[31]

d)     Wasilah (media dakwah)
Wasilah dakwah adalah alat objektif yang menjadi saluran yang dapat menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah yang keberadaannya sangat urgent dalam menentukan perjalanan dakwah.

e)      Thariqah (Metode Dakwah)
Uslub adalah suatu cara dalam melaksanakan dakwah, menghilangkan rintangan atau kendala-kendala dakwah, agar mencapai tujuan dakwah secara efektif dan efisien.

f)       Atsar (efek dakwah)
Atsar sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses) dakwah ini sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da'i. Kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan, maka selesailah dakwah. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya.[32]

7.            Landasan Manajemen Dakwah
Landasan manajemen dakwah secara normatif ialah al-Quran dan Sunnah. Dalam al-Quran, terdapat banyak ayat yang memerintahkan berdakwah bagi umat Islam, sebagai upaya menyeru umat manusia agar melaksanakan kebaikan dan meninggalkan perbuatan buruk. Hadis juga telah banyak berbicara mengenai manajemen dakwah ini.

1.      Q.S. Ali-Imran : 110
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَاْ مُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ اْلُمنْكَرِ وَتُؤْ مِنُوْنَ بِاللهِ وَلَوْ ءَامَنَ اَهْلُ الْكِتبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفسِقُوْنَ.
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf (kebenaran), dan mencegah dari yang mungkar (kejahatan), dan beriman kepda Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali-Imran :110)
2.      Q.S. An-Nahl : 125
اُدْعُ اِلَى سَبِيْلَ رَبِّكَ بِاْلحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةُ اْلحَسَنَةِ وَجدِلْهُمْ بِالًّتِى هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ, وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.
Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan batahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

3.      Q.S Al-Imran: 104
وَلْتُكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَدْ عُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَاْ مُرُوْنَ بِاْلمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَاوُلئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
4.      H. R. Muslim
وَعَنْ اَبِى مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرِ وَاْلاَنْصَارِىِّ اْلبَدْرِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ اَجْرِ فَا عِلِهِ . رواه مسلم
Abu Mas’ud Uqbah bin Amru Al-Anshari ra. berkata: “Telah bersabda Rasulullah Saw: ‘Barang siapa yang menunjukan pada kebaikan maka dia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengejakannya.
5.      H.R. Muslim
وَعَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ : اَنَّ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ دَعَا اِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلاَجْرِ مِثْلُ اُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَ لِكَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا اِلَى ضَلاَ لَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْاِثْمِ مِثْلُ اَثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ اَثَا مِهِمْ شَيْئًا .رواه مسلم
Abu Hurairah ra. berkata: “Rasulullah Saw telah bersabda: ‘Barang siapa yang mengajak kepada kebaikan, maka baginya diberikan seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sama sekali dan barang siapa yang mengajak pada kesesatan, maka baginya diberikan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun’.


8.            Penutup
Dakwah islamiyyah merupakan aktivitas suci yang tiada pernah padam sejak zaman kenabian hingga akhir zaman. Ruh ajaran islam adalah aktivitas menyeru dan mengajak manusia agar selalu tetap dalam ruang dan waktu yang benar untuk berpikir, bersikap, berperilaku, dan bertindak. Namun, pernahkah kita berfikir: Apa sebenarnya fungsi dan tujuan berdakwah?
Setiap bentuk aktivitas dan disiplin ilmu mempunyai fungsi serta tujuan. Begitu pun dengan berdakwah mempunyai beberapa fungsi dan tujuan. Maka untuk itu, seyogyanya da’i harus memperhatikan cara-cara dalam menyampaikan dakwahnya agar tercapai apa yang diinginkan. Seorang da’i yang profesional adalah seorang yang tekun, sabar dan tahan godaan, senantiasa dinamis dan mencari kreatifitas baru dalam berdakwah, karena memang ia tidak akan pernah setuju dan rela jika dakwah ini vakum, berjalan di tempat dan tidak mendapat tempat di hati umat.
Ruang dakwah ke depan memang akan menuntut lebih profesionalisme kita dalam konteks “keilmuan” yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga citra dakwah ini akan tetap baik seiring dengan permasalahan dan perkembangan dunia global yang lebih menantang. Mari ciptakan suasana ilmiyyah yang merupakan komponen dasar dari profesionalitas dalam dakwah kita.







 Daftar Pustaka

Ya’qub, Hamzah, Publistik Islam, Teknik dakwah dan leadership, Jakarta: Diponegoro, 1992, ttn.

Quth, Sayyed, Fii DhilalilQuran, Beirut : Ihyaut Turatsi al-Araby, 1976, ttn

Mashudi, Masdar, Dakwah Islam Mencari Paradigma Baru, Makalah yang disampaikan pada seminar sehari tentang Politik Dakwah, di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Desember, 1991.

Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Dasar Pengertian dan Masalah, , Jakarta: Bumi Aksara, ,2009, Cet. ke-8.

Shaleh, Abdul Rosyad, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, ttn

Munir, Muhammad, Manajemen Dakwah, Jakarta: Rahmat Semesta, 2009, ttn

Kayo, R. B. Khatib Pahlawan, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, Jakarta: Amzah, 2007,  Cet. ke-1

Ishak Asep, Hendri Tanjung, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Trisakti, 2002, ttn

Kafie, Jamaluddin, Psikologi Dakwah, Surabaya: Indah Surabaya. 1993, ttn

Anshari, Hafi, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: Al-Ikhlas. 1993, Ttn

Muchtarom, Zainal, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996, ttn



Brantas, Drs. M. Pd., Dasar-dasar Manajemen, Bandung, Alfabeta, 2009, ttn

Athoillah, Anton M, Dr. Dasar-dasar Manajemen, Bandung: Pustaka Setia, 2010, Cet. 1,

Abdul Aziz, Islah al-Wakhudu al-Diniy, Mesir: Attiqarah al-Kubra, 1997, ttn


Mahfudz, Syaikh Ali, Hidayat al-Mursidin, Kairo: Dar al-Tiba’ah al-Mahmadiyah, 1979, Cet. ke-9

Attabiq Lutfi, http://assyaamil.multiply.com/journal/item/12, diakses 16  juni 2011.





[1].lebih lengkapnya baca Attabiq Lutfi, http://assyaamil.multiply.com/journal/item/12, diakses 16  juni 2011.

[3] . Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan,  Jakarta : Prenada Media Group, 2010, cet. ke-4, h. 153

[4] .Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta, Sinar Grafika Offsrt, 2009, cet. ke-1, h. 126

[5] . Ibid

[6] . Abuddin Nata, op. cit., h. 151-160

[7] . Orang Shalih sebagai da’I, http://www.ydsf.org/blog/untaian-hikmah/kita-bisa-menjadi-orang-shalih. Diakses tanggal 22 Juni 2011

[8] . Abuddin Nata, op. cit., h. 161

[9]. Ibid., h. 163

[10]. Abuddin Nata mengatakan, diantara masalah yang tidak saja merupakan isu daerah Jakarta, bahkan sudah merupakan isu nasional adalah pertentangan, konflik, dan permusuhan antara warga Matraman yang sejak dulu belum juga teratasi dengan tuntas bahkan sudah menelan jiwa dan lain sebagainya. Abuddin Nata mengatakan hal ini dalam kutipan footnote dan ini merupakan perkataannya sendiri. Ibid., h. 162

[11]. Muhammad Munir, Manajemen Dakwah, Jakarta: Rahmat Semesta, 2009, ttn, h. 38

[12]. Zainal Muchtarom, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996, ttn, h. 35.
[13]. Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Dasar Pengertian dan Masalah, , Jakarta: Bumi Aksara, 2009, Cet. ke-8, h. 1

[14]. Brantas, Dasar-dasar Manajemen, Bandung : Alfabeta, 2009, ttn, h. 4

[15]. Anton Athoillah, Dasar-dasar Manajemen, Bandung: Pustaka Setia, 2010, Cet. ke-1, h. 14

[16]. Abdul Aziz, Islah al-Wakhudu al-Diniy, Mesir: Attiqarah al-Kubra, 1997), ttn, h. 26.

[17]. Syaikh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursidin, Kairo : Dar al-I’tisam, 1989, cet. Ke-9, h. 16. lihat juga Abdul Kadir Sayid Abd Rauf, Dirasat fi da’wah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Tiba’ah al-Mahmadiyah, 1987, h. 10

[18]. Hamzah Ya’qub, Publistik Islam, Teknik dakwah dan leadership, Jakarta: Diponegoro, 1992, ttn, h. 12-20.

[19]. Sayyed Quth, Fii DhilalilQuran, Beirut, Ihyaut Turatsi al-Araby, 1976, ttn. J. 7, h. 110

[20].Masdar Mashudi, Dakwah Islam Mencari Paradigma Baru, Makalah yang disampaikan pada seminar sehari tentang Politik Dakwah, di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Desember 1991, ttn. h. 1.

[21] . Munir, op. cit, h, 79-80

[22]. Malayu S.P. Hasibuan, op. cit., h. 17-19

[23]. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, ttn,  h. 21

[24]. Munir, op. cit., h. 87-90.

[25].RB. Khatib Pahlawan kayo, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, Jakarta: Amzah, 2007, Cet. ke-1, h. 30-31.

[26]. Ishak Asep, Hendri Tanjung, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Trisakti, 2002, ttn, h. 19
[27]. Rosyad Shaleh, loc. cit

[28]. Ibid

[29]. Munir, op. cit, h. 93-170

[30]. Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, Surabaya: Indah Surabaya, 1993, ttn, h. 32

[31]. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, ttn, h. 146

[32]. Munir, op. cit, h, 87-90