Translete This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 20 Mei 2011

PROBLEMATIKA UANG HARAM DALAM KAJIAN ILMU FIQH


Oleh : Dr. Ahmad Munif Suratmaputra, MA

Pendahuluan
Masalah uang haram mendapat perhatian yang cukup besar dalam kajian fiqh Islam. Haram merupakan pasangan dari halal, dalam arti tidak ada sesuatu yang bisa disebut haram tanpa ada yang halal, dan sebaliknya. Tampaknya keberadaan haram sengaja dimaksudkan untuk menguji loyalitas keimanan seseorang; sampai di mana dan sejauh mana kadar keimanannya itu.
Haram merupakan salah satu dari al-Ahkam al-Khamsah yang harus dijauhi setiap mukallaf. Islam memberi ancaman berat bagi siapa ­yang mmelanggarnya. Sejak dahulu hal ini menjadi perbincangan yang hangat, demikian juga dewasa ini.
Manusia dalam mengejar kehidupan materi kadang-kadang tidak  mengindahkan aturan haram-halal. Malah ada yang begitu ekstrim menyatakan bahwa dalam kehidupan modern kalau ingin maju, mau tidak mau harus bersentuhan dengan yang haram. Untuk itu, tidak aneh kalau ada muslim kaya raya tetapi tidak pernah zakat, yang berarti tanpa disadari ia telah menumpuk harta haram. Ada pula muslim yang rajin beramal, tetapi ternyata dari harta haram. Hasil korupsi misalnya. Ada pula organisasi Islam yang meminta sumbangan atau diberi bantuan ­dari harta yang haram.
Namun demikian, di tengah-tengah masyarakat kita masih ada kesimpangsiuran tentang hakikat uang haram ini. Apakah sebenarnya hakikat uang haram itu? Bagaimana cara penyelesaiannya apabila seseorang memperoleh uang haram kemudian ingin bertaubat? ­Apakah sah beribadah atau beramal dengan mempergunakan uang ­haram? Dan apakah uang haram itu wajib dizakati? Inilah beberapa pertanyaan yang selalu muncul di tengah-tengah masyaraka­t kkita sekitar uang haram. Makalah yang sederhana ini ingin mencoba mencari pemecahannya.

Klasifikasi Hukum Islam

Hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, hukum Islam yang secara jelas dan tegas telah ditunjukkan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah yang tidak mengandung penafsiran dan pentakwilan (Nash Sharih). Kedua, hukum Islam yang belum/tidak ditunjukkan secara tegas dan jelas oleh nash al-­Qur'an aatau Sunnah, di mana hal itu baru diketahui setelah digali melalui ijtihad. Hukum Islam kategori pertama statusnya qath'iy; kebenarannya bersifat absolut dan pasti, sedangkan hukum Islam kategori kedua statusnya dhanny; kebenarannya tidak bersifat absolut, tetapi nisbi. Ia benar mungkin salah, atau kebalikannya, ia salah, mungkin benar. Hanya saja yang dominan adalah sisi kebenarannya.[1]
Demikian juga hukum haram, ada yang statusnya qath'iy dan ada pula yang statusnya dhanny. Haram yang statusnya qath'iy ialah keharaman sesuatu yang ditunjukkan secara tegas dan jelas oleh  nash al-Qur'an atau Sunnah. Sedangkan haram yang statusnya dhanny ialah keharaman sesuatu yang tidak ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur'an atau Sunnah. Hukum haram itu diperoleh lewat ijtihad. Kedua-duanya sama-sama hukum Islam, sama-sama haram. Perbedaannya ialah inkar terhadap keharaman sesuatu yang statusnya qath'iy menyebabkan seorang men­jadi kkufur. Sedangkan inkar kepada keharaman sesuatu yang statusnya dhanny tidak menyebabkan seseorang menjadi kufur. Paling-paling fasiq.[2]
Jadi dalam kaitannya dengan keharaman sesuatu yang statusnya dhanny ada kelonggaran bagi mukallaf untuk bisa memilih pandangan mujtahid lain yang kebetulan pendapatnya menjadi kebalikannya,  yakni mengatakan bahwa sesuatu itu halal hukumnya. Apalagi kalau ternyata pendapat yang mengatakan halal itu lebih kuat dalilnya. Sebagai contoh misalnya, masalah Greensand. Kalau dalam hal ini kita mengikuti pandangan Hanafi tentang minuman keras, maka kita bisa memanfaatkannya.[3]
Dalam menanggapi masalah-masalah ijtihad semacam ini para imam mujtahid telah memberi tuntutan kepada kita agar kita bersifat tasamuh/toleran dengan tetap menghormati pandangan orang lain. Masing-masing imam menyatakan:

رَأْيُنَا صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِنَا خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ

“Pendapat kami benar, mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, mengandung kemungkinan benar.”[4]
Disamping itu Islam juga memberi kelonggaran kepada kita bahwa dalam keadaan darurat maka berlakulah kaidah:

اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

“Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.”[5]
Hal ini berlaku dalam menanggapi hal-hal yang keharamannya  qath’iy sekalipun. Dari sini dapat kita fahami bahwa Islam di samping bersikap tegas dan keras dalam menghadapi sesuatu yang haram, juga ber­sikap lunak, dalam arti dalam batas-batas tertentu tetap diberi jalan keluar. Dengan sistem inilah, keseimbangan/tawazun itu dapat diwujudkan. Hal ini tentu sejalan dengan prinsip umum pensyari'­atan hukum Islam "Jalb al-Manaf'i` wa daf` al-Madharr", artinya hukum Islam itu disyariatkan tiada lain tujuannya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.[6]

Pengertian Uang Haram

Uang haram adalah uang yang diperoleh melalui jalan/cara/ pekerjaan yang dilarang oleh Islam, seperti mencuri, merampok, korupsi, manipulasi, dan lain sebagainya. Uang adalah benda. Atribut halal atau haram tidak dapat disandingkan kepada yang halal atau haram. Atribut halal atau haram hanya dapat disandingkan kepada perbuatan. Hal ini dapat kita ketahui secara jelas dari definisi hukum menurut Ushuliyyin:

خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ طَلَبًا أَوْ تَخْيِيْرًا أَوْ وَضْعًا

“Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang dewasa (Mukallaf), baik berupa tuntutan, pilihan maupun bersifat wadl'iy.”[7]
Yang perlu kita garisbawahi dalam ta'rif ini ialah ungkapan al-­muta'alliq bi-af`al al-mukallafin, yang artinya "yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang dewasa". Jadi obyek hukum adalah perbuatan orang-orang dewasa. Perbuatan inilah yang disifati haram, halal, dan lain sebagainya. Dengan demikian kalau dalam pergaulan sehari-hari kita mengatakan "uang haram atau uang halal", maksudnya adalah uang yang diperoleh lewat jalan haram atau halal. Jadi perkataan tersebut adalah majazi/metaforis. Bahwa hukum hanyalah menjadi atribut dari perbuatan - sejalan dengan ta'rif hukum di atas - telah menjadi konsensus Fuqaha', Ushuliyyin, dan Mufassirin.
Mufassir besar Al-Alusi ketika menafsirkan ayat Innama harrama' alaikum al-maitata..... (Al-Baqarah, 173) mengatakan:
(إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ) اَىْ اَكْلَهَا وَالإِنْتِفَاعَ بِهَا، وَاِضَافَةُ الْحُرُمَةِ اِلَى الْعَيْنِ مَعَ اَنَّ الْحُرْمَةَ مِنَ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِى هِيَ مِنْ صِفَاتِ فِعْلِ الْمُكَلَّفِ وَلَيْسَتْ مِمَّا تَتَعَلَّقُ بِالأَعْيَانِ، إِشَارَةٌ اِلَى حُرْمَةِ التَّصَرُّفِ فِى الْمَيْتَةِ.
“Maksudnya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai dan memanfaat­kannya. AAllah SW'T menyandarkan hukum haram kepada benda/zat, padahal haram adalah hukum agama yang merupakan salah satu sifat dari perbuatan orang dewasa, tidak merupakan sifat yang berhubungan dengan benda, itu sebagai isyarat terhadap keharaman  tasharruf pada bangkai.”[8]
Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya Al-Tafsir al-Kabir ketika menaf­sirkan ayat Hurrimat `alaikum ummahatukum .... (Al-Nisa': 23) antara lain menyebutkan:
(اَلْمَسْئَلَةُ الأُوْلَى) ذَهَبَ الْكَرْخِىُّ اِلَى أَنَّ هَذِهِ الأَيَةِ مُجْمَلَةٌ، قَالَ لأَنَّهُ اُضِيْفَ التَّحْرِيْمُ فِيْهَا اِلَى الأُمَّهَاتِ وَالْبَنَاتِ، وَالتَّحْرِيْمِ لاَ يُمْكِنُ اِضَافَتُهُ اِلَى الأَعْيَانِ وَإِنَّمَا يُمْكِنُ اِضَافَتُهُ اِلَى الأَفْعَالِ وَذَلِكَ الْفِعْلُ غَيْرُ مَذْكُوْرٍ فِى اْلأَيَةِ فَلَيْسَتْ اِضَافَةُ هَذَا التَّحْرِيْمِ اِلَى بَعْضِ الأَفْعَالِ الَّتِىْ لاَيُمْكِنُ اِيْقَاعَهَا فِى ذَوَاتِ الأُمَّهَاتِ وَالْبَنَاتِ اَوْلَى مِنْ بَعْضٍ، فَصَارَتْ الأَيَةُ مُجْمَلَةٌ فِى هَذَا الْوَجْهِ. وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ، الأَوَّلُ اَنْ تَقْدِيْمَ قَوْلِهِ تَعَالَى (وَلاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ آبَاءُكُمْ) يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ مِنْ قَوْلِهِ (حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ) تَحْرِيْمُ نِكَاحِهِنَّ. وَالثَّانِىْ اَنَّ مِنَ الْمَعْلُوْمِ بِالضَّرُوْرَةِ مِنْ دِيْنِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّ الْمُرَادَ مِنْهُ تَحْرِيْمُ نِكَاحِهِنَّ، وَالأَصْلُ فِيْهِ اَنَّ الْحَرَمَةَ وَالإِبَاحَةَ اِذَا اُضِيْفَتَا اِلَى الأَعْيَانِ فَالْمُرَادُ تَحْرِيْمُ الْفِعْلِ الْمَطْلُوْبِ مِنْهَا فِى الْعُرْفِ. فَاِذَا قِيْلَ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ، فَهِمَ كُلُّ اَحَدٍ اَنَّ الْمُرَادَ تَحْرِيْمُ اَكْلِهَا. وَاِذَا قِيْلَ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَاَخَوَاتُكُمْ، فَهِمَ كُلُّ اَحَدٍ اَنَّ الْمُرَادَ تَحْرِيْمُ نِكَاحِهِنَّ. وَلَمَّا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ اِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ، فَهِمَ كُلُّ اَحَدٍ اَنَّ الْمُرَادَ لاَ يَحِلُّ إِرَاقَةُ دَمِهِ.
“Masalah pertama: Al-Karkhi berpendapat bahwa ayat ini mujmal (global), karena dalam ayat kata hukum haram disandarkan kepada ibu dan anak­-anak (ummahatukum wa banatukum), padahal hukum haram tidak dapat disandarkan kepada benda. Haram hanya bisa disandarkan kepada perbuatan. Perbuatan tersebut tidak disebutkan dalam ayat. Penyandaran haram kepada sebagian perbuatan yang tidak mungkin dilakukan dalam kaitannya dengan ibu dan anak tidaklah lebih utama dari pada yang lain. Oleh karena itu dari sisi ini ayat tersebut (Al-Nisa': 23) adalah mujmal. Untuk menjawab masalah tersebut ada dua jalan. Pertama, dengan didahulukannya firman Allah Wala tankihu ma nakaha aba'ukum adalah menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Hurrimat `alaikum ummahatukum adalah haram menikahi ibu. Kedua, secara jelas telah diketahui dari agama Islam bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah haram menikahi ibu. Pada dasarnya apabila ada haram dan mubah disandarkan kepada benda maka yang dimaksud adalah haram melakukan perbuatan yang berkenaan dengan benda tersebut menurut `urf. Apabila dikatakan "Diharamkan atasmu bangkai dan darah, maka setiap orang akan mema­haminya bbahwa yang dimaksud adalah haram memakannya. Apabila dikatakan "Diharamkan ibumu, anak-anak perempuanmu, dan saudara­-saudara perempuanmu, setiap orang akan memahaminya, yang dimaksud adalah haram menikahinya". Ketika Rasulullah bersabda, "Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga hal", setiap orang akan memahaminya bahwa yang dimaksud adalah tidak halal mengalirkan darahnya (membunuhnya).[9]
Uraian senada diungkapkan oleh Fakhrurrazi ketika menafsirkan ayat innama harrama `alaikum al-maitata .... (Al-Baqarah, 173).[10]
Kemudian Syekh al-Syarbini al-Khatibi dalam kitab al-Mughni al-Muhtaj setelah menjelaskan sekitar masalah haram menyatakan:
لأَنَّ الأَعْيَانَ لاَ تُوْصَفُ بِحِلٍّ وَلاَ حَرَمَةٍ
“Karena benda itu tidak dapat disifati dengan halal atau haram.”[11]
Atas dasar ini maka harta atau uang yang diperoleh lewat jalan atau cara yang haram itu hukumnya haram lighairih, bukan haram li'ainih/lizatih. Dalam hasyiah Rad al-Muhtar Ibnu Abidin mengata­kan:
مَعَ اَنَّ الْمُصَرِّخَ فِيْ كُتُبِ الأُصُوْلِ اَنَّ مَالَ الْغَيْرِ حَرَامٌ لِغَيْرِهِ لاَ لِعَيْنِهِ بِخِلاَفِ لَحْمِ الْمَيْتَةِ وَإِنْ كَانَتْ حُرْمَتُهُ قَطْعِيَّةٌ

“.... Padahal sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, sesungguhnya harta orang lain yang diambil lewat jalan yang haram adalah haram lighairih, bukan haram li'ainih. Berbeda dengan daging bangkai (yang haramnya li`ainih): sekalipun harta yang diperoleh lewat jalan haram tersebut haramnya bersifat qath'iy.”[12]
Dari penjelasan Ibnu Abidin dapat kita ketahui bahwa status ke­haraman uuang/harta yang diperoleh lewat jalan haram tersebut ada­lah haram lighairih/bukan haram li'ainih/lizatih. Tetapi kemudian ia menegaskan bahwa sekalipun haramnya itu lighairih, namun status­nya adalah qath'iy.
Menurut hemat penulis, adanya generalisasi bahwa status haramnya uang/harta adalah qath'iy, perlu kita tinjau kembali. Hal ini mengingat adanya klasifikasi haram sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini, yaitu haram yang ditunjukkan oleh dalil qath'iy dan haram yang ditunjukkan oleh dalil dhanny. Menurut hemat penulis keharaman sesuatu yang ditunjukkan dalil dhanny statusnya juga dhanny. Sebagai contoh seperti uang hasil eksport kodok. Haramnya kodok diperselisihkan dan dalil yang menunjukkan bahwa kodok itu haram - menurut pandangan ulama yang berpen­dirian demikian - adalah dhanny. Dengan demikian haramnya kodok tidak bersifat qath'iy. Oleh karena hukum kodoknya sendiri tidak qath'iy/dhanny, maka uang hasil eksportnya pun hanya berstatus dhanny. Demikian juga status keharaman  sesuatu baik makanan atau minuman yang ditetapkan berdasarkan ijtihad. Dari sini jelas bahwa hukum keharaman sesuatu itu perlu diklasifikasi, yakni ada kalanya qath'iy dan ada pula yang dhanny.
Kembali kepada persoalan pertama, yaitu hakikat uang haram, maka berdasarkan definisi Ushul Fiqh, pandangan Fuqaha' dan Mu­fassirin seperti telah diungkapkan di atas dapat diketahui bahwa pada hakikatnya yang namanya uang haram itu tidak ada. Yang ada adalah uang yang diperoleh lewat jalan atau perbuatan haram. Oleh karena itu kalau dalam percakapan sehari-hari kita mengatakan "ini adalah uang haram", haruslah hal itu kita artikan secara majazi, artinya yang diperoleh lewat jalan haram, yaitu cara-cara yang tidak dibenarkan oleh Islam.

Penyelesaian Uang Haram

Nah, sekarang bagaimana penyelesaiannya apabila seseorang mem­peroleh uang haram kemudian ingin membersihkan dirinya dari dosa yang dilakukannya itu? Jelas, ia harus bertaubat, menyesali perbuatannya, mohon ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya itu. Allah SWT berfirman:
يآ اَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْاتُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً النَّصُوْحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (Al-Tahrim: 8).
Uang haram yang diperoleh itu ada kalanya hanya berhubungan dengan hak Allah dan ada pula yang berhubungan dengan hak ma­nusia. Apabila uang haram yang diperoleh itu merupakan hak Allah seperti hasil penjualan bangkai, babi, bayaran pelacuran, dan lain-­lain, maka taubat yang dilakukannya selain seperti telah disebutkan di atas, yang bersangkutan wajib menyerahkan uang tersebut untuk kemaslahatan umum. Yang bersangkutan haram memakan dan memanfaatkan uang haram yang diperolehnya itu. Demikian juga tidak dibenarkan untuk diserahkan kepada perorangan, dengan arti perorangan tidak dibenarkan menerima pelimpahan uang tersebut untuk kepentingan pribadinya.
Dalam kaitannya dengan uang hasil lotre, Syekh Muhammad Abduh menyatakan bahwa yang menang tidak dibenarkan memanfaatkan uang tersebut. Demikian juga perorangan haram menerima uang ter­sebut. Uang itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah atau organisasi untuk kepentingan umum, seperti membangun rumah sakit, lembaga pendidikan, panti asuhan, dan lain-lain. Sebab uang tersebut termasuk ke dalam kategori uang batil yang dilarang oleh Allah memakan dan memanfaatkannya, sejalan dengan firman Allah:[13]
وَلآتَأْكُلُوْا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“]anganlah sebagian di antara kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan batil. (Al-Baqarah: 188).
Dalam kaitannya dengan uang hasil pembayaran pelacur, Imam Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa uang tersebut wajib disedekahkan.[14] Yang perlu kita tegaskan di sini ialah jangan sampai dengan adanya pandangan ini seolah-olah perbuatan dosa itu telah lenyap begitu saja. Itu tidak. Sebab kita harus sadar bahwa perbuatan dosanya itu telah dicatat tersendiri. Sementara itu uang haram yang disedekahkan atau dipergunakan untuk kepentingan umum itu jelas tidak akan memper­oleh pahala apa-apa. Sebab hadis Nabi menyatakan:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لآ يَقْبَـلُ اِلاَّ طَـيِّـبًا (رواه مسلم)
“Allah itu Maha Bersih, tidak akan menerima amal kecuali yang bersih.” (HR. Muslim)
Kemudian kalau harta/uang haram yang diperolehnya itu adalah hak manusia, seperti mencuri, menodong, korupsi, penipu, dan lain-­lain, maka uang tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya/yang berhak. Tentu dengan meminta maaf kepadanya. Apabila hal tersebut tidak mungkin dilakukan maka uang tersebut harus dikembalikan kepada pemilik hakikinya, yaitu Allah SWT, sejalan dengan ayat:
وَآتُوْاهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ الَّذِيْ آتـكُمْ
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan­Nya.” (Al-Nur: 33).
Lalu bagaimana caranya? Caranya ialah dengan diserahkan kepada kepentingan umum. Atas dasar ini maka apabila ada seseorang akan menyerahkan uang hasil korupsi kepada panitia pembangunan masjid, pesantren, madrasah, dan lain lain, seharusnya hal itu kita terima kemudian kita salurkan untuk kepentingan pembangunan ter­sebut. Kita yang menerima untuk kepentingan pembangunan itu tidak berdosa justru mendapat pahala. Sarana yang dibangun itu pun halal/mubah untuk dimanfaatkan bagi kepentingan kemajuan agama/kepentingan umum. Yang berdosa justru yang memiliki uang haram itu, karena ia memperolehnya lewat jalan yang tidak dibenarkan oleh Islam. Kenapa yang menerima untuk kepentingan pembangunan tersebut mendapatkan pahala? Sebab ia telah memberi jalan keluar kepada orang yang berdosa tadi untuk melakukan taubatnya, dan menghalanginya dari memperguna­kan uang tersebut untuk hal-hal yang dilarang oleh Islam. Sebab, kalau uang itu tidak ia terima untuk kepentingan pembangunan, besar kemungkinan hal itu akan dipergunakannya untuk ma'siat. Terjadilah filsafat dari haram ke haram. Di sini berlakulah kaidah Sadd al-Zari'ah.[15]
Namun kita tidak dibenarkan menerima sumbangan yang berasal dari uang haram tersebut untuk kepentingan pribadi, kecuali bagi yang benar-benar terdesak. Bagi orang semacam ini berlaku kaedah:

اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

“Darurat memperbolehkan hal-ha1 yang dilarang.”[16]
Kaidah ini pun harus dipadukan dengan kaidah:

اَلضَّرُوْرَةُ تُقْدَرُ بِقَدَرِهَا

“Darurat itu harus diperkirakan sesuai dengan ukuran/batas-batasnya.” [17]
Sekarang timbul pertanyaan, bolehkah seseorang korupsi dengan tujuan untuk ibadah haji atau membangun pesantren misalnya? Berda­sarkan uraian di atas jelas hal itu tidak dibenarkan. Sebab yang haram tetap haram, Haram    tidak   akan   menjadi  halal  betapapun indah dan bagus motivasinya. Niat yang baik tidak bisa mengubah yang haram menjadi halal, atau yang haram tidak bisa menjadi halal dengan adanya niat yang baik.
Ulama kemudian berbeda pendapat tentang ibadah yang dilaku­kan dengan mempergunakan sarana uang haram. Jumhur menyatakan ibadahnya itu sah, tetapi yang bersangkutan berdosa. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan tidak sah. Perbedaan ini nampaknya muncul dari adanya perbedaan pandangan tentang definisi sah dan perbedaan da­lam mengartikan hadis Inna Allah thayyibun la yaqbalu illa thayyiban.[18]

Apakah Uang Haram Itu Ada Zakatnya?

Apakah uang/harta yang diperoleh lewat jalan haram itu wajib dizakati? Dalam hal ini Ulama Fiqh menyatakan bahwa hal itu tidak wajib diza.kati/tidak ada zakatnya, sekalipun telah sampai batas nisab. Ada dua alasan kenapa uang haram itu tidak wajib dikeluarkan zakat. Alasan itu adalah:
1.    Salah satu syarat wajib zakat yang telah diijma'kan oleh ulama adalah milk tam, benar-benar memiliki. Uang haram yang dimiliki seseorang itu pada hakikatnya bukanlah mi­liknya, aakan tetapi milik orang lain atau lembaga di mana ia meng­ambil uang tersebut. Dengan demikian milk tam yang merupakan salah satu syarat wajibnya zakat tidak terpenuhi pada orang terse­but. Oleh karenanya tidak ada kewajiban zakat baginya. Bahkan baginya tidak ada hak untuk mentasarrufkannya, karena apa yang di tangannya itu sebenarnya bukanlah miliknya.
2.    Hadis Nabi riwayat Muslim:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ (مسلم)
“Allah SWI'tidak menerima zakat/sedekah dari harta yang diperoleh lewat jalan khianat.” (Riwayat Muslim)
Apabila zakat dari harta/uang haram itu diterima oleh Allah, berarti Allah tidak konsekuen. Sebab, mendapatkan uang haram di­larang, tetapi kenapa zakatnya diterima? Menerima zakat dari uang haram berarti melegalisir perbuatan haram tersebut. Hal ini jelas tidak akan mungkin terjadi bagi Syari'. Para ulama memberi alasan kenapa zakat dari uang haram itu tidak diterima oleh Allah. Alasannya ialah karena uang itu bukan miliknya. Dengan demikian - seperti telah di­sebutkan - ia tidak mempunyai hak untuk mentasarrufkannya, terma­suk zakat/sedekah tersebut. Kewajibannya ialah yang bersangkutan harus segera me­ngembalikan uang itu kepada pemiliknya semula. Seandainya zakat/sedekah dari harta haram itu diterima, maka berarti ada sesuatu dari satu sisi diperintah, dan dari sisi lain dilarang. Hal sema­cam ini jelas mustahil.
Dalam kaitan ini Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan:

وَاشْترَاطُ الْمِلْكِ لِوُجُوْبِ الزَّكَاةِ يَخْرُجُ بِهِ الْمَالُ الَّذِىْ يَحُوْزُهُ صَاحِبُهُ بِطَرِيْقٍ خَبِيْثٍ مِنْ طُرُقِ السُّحْتِ وَالْحَرَامِ كَالْغَصَبِ وَالسَّرِقَةِ وَالتَّزْوِيْرِ وَالرِّشْوَةِ وَالرِّبَا وَالإِحْتِكَارِ وَالغَشِّ وَنَحْوِهَا مِنْ اَخْذِ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ كَأَكْثَرِ اَمْوَالِ سَلاَطِيْنِ الْجُوْرِ وَامُرَاَءِ السُّوْءِ وَالْمُرَابِيْنَ وَاللُّصُوْصِ الْكِبَارِ وَالصِّغَارِ، فَالصَّحِيْحُ اَنَّ هؤُلاَءِ لاَيَمْلِكُوْنَ هَذِهِ الأَمْوَالِ الْمَنْهُوْبَةِ وَاَنَّ خَلَطُوْهَا بِأَمْوَالِهِمُ الْحَلاَلِ حَتَّى لاَ تُعَدَّ تَتَمَيَّزُ مِنْهَا. قَالَ الْعُلَمَاءُ لَوْ كَانَ الْخَبِيْثُ مِنَ الْمَالِ نِصَابًا لاَ يَلْزَمُهُ الزَّكَاةُ لأَنَّ الْوَاجِبَ تَفْرِيْغُ ذِمَّتِهِ بِرَدِّهِ اِلَى أَرْبَابِهِ إِنْ عُلِمُوْا اَوْ اِلَى وَرَثَتِهِمْ وَاِلاَّ فَاِلَى الْفُقَرَاءِ وَهُنَا يَجِبُ التَّصَدُّقِ بِهِ كُلُّهُ فَلاَ يُفِيْدُ اِيْجَابَ التَّصَدُّقِ بِبَعْضِهِ.
“Persyaratan milik yang mewajibkan zakat tidak termasuk harta yang di­dapat ssecara zalim seperti hasil rampasan, curian, risywah (sogok), stok barang, yang sering dimiliki oleh pejabat-pejabat dzalim. Sebenarnya mereka itu tidak memiliki (secara syar'i) hartanya itu, sekalipun tercampur dengan hartanya yang halal. Jika pencampuradukan harta (antara halal dan haram) itu nyaris tidak bisa dipisahkan lagi, menurut ulama tidak berlaku nishab, karena kewajibannya adalah mengembalikan harta dzalim itu kepada pemiliknya jika diketahui, atau kepada ahli waris­nya jjika tidak diketahui lagi pemiliknya. Kalau pemilik dan ahli waris­nya ttidak ddiketahui, dia wajib menyumbangkan seluruh hartanya kepada fakir miskin. Menyumbang hanya dengan sebagian saja tidak dapat meng­hapuskan (kekotoran) hartanya.” [19]

Kesimpulan

Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Dipandang dari segi zatiahnya sebenarnya tidak ada uang haram, sebab haram adalah hukum di mana obyek hukum adalah per­buatan. Dengan kata lain benda tidak dapat diberi atribut haram, yang dapat diberi atribut haram adalah perbuatan. Dengan demikian ungkapan "uang haram" adalah majazi, artinya uang yang diper­oleh llewat jalan haram atau uang yang haram untuk ditasarrufkan.
2.    Sebagaimana halnya hukum Islam, ada yang bersifat qath’iy dan ada yang ditentukan dengan dalil dhanny, status hukum haram ada yang bersifat qath’iy  dan ada pula yang bersifat dhanny.
3.  Uang haram yang berupa haqqullah, cara penyelesaiannya harus ditasarrufkan untuk kepentingan umum. Sedangkan uang haram yang berupa haqqul `Ibad/haqqunnas harus dikembalikan kepada orang atau lembaga dari mana uang itu ia peroleh/pemiliknya. Apabila hal ini tidak mungkin, maka harus dikembalikan kepada pemilik hakiki, yaitu Allah SWT yang caranya diserahkan untuk kemaslahatan umum.
4. Menerima uang haram untuk kemaslahatan umum atau kepentingan agama seperti membangun mesjid dapat dibenarkan oleh agama, sekalipun yang menyerahkannya tetap berdosa dan tidak mendapat pahala, sebab yang ditasarrufkannya itu bukan miliknya. Sementara itu menerima uang haram untuk kepentingan pribadi jelas tidak dapat dibenarkan oleh Islam (haram), kecuali dalam kondisi darurat yang pelaksanaannya harus tetap berpegang pada kaidah al-Dharurat tuqaddaru biqadriha.
5.    Uang haram tidak wajib dikeluarkan zakatnya, sebab uang itu bukan miliknya dan Allah SWT tidak akan menerima amal dari yang haram. Inna Allah thayyibun la yaqbalu illa thayyiban.

Wallahu A`lam……







[1] Al-Asnawi, Nihayah al-Sul, `Alam al-Kutub, juz I, h. 22-24, Abd al-Wahhab Khalaf, Mashadir al-Tasyri` fi ma la Nashsha fih, Dar al-Qalam, h. 8-12
[2] Al-Subki, Jam al-Jawami`, al-Haramain, juz 2, h. 201-202, Khudhari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fkr, h. 287-288
[3]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Dar al-Fikr, juz 1, h.345
[4] Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Dar al-Fikr, Juz 2, h. 329
[5] Ibn Nujaim, Al-Asybah wa an-Nadhair, al-Halabi wa Syurakah, h.85
[6] Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, juz 2, h. 305
[7] Al-Baidhawi, Minhaj al-Ushul, Dar al-Kutub, juz 1, h. 47
[8] Al-Alusi, Ruh al-Ma`ani, Dar al-Fikr, juz 11, h. 41
[9] Al-Razi, Tafsir al-Kabir,  Dar al-Fikr, juz 10, h. 25
[10] Ibid, juz 7, h. 4
[11] Al-Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, Musthafa al-Babi al-Halabi, juz 5, h. 305
[12] Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar, Dar al-Fikr, juz 11, h. 292
[13] Abduh, Tafsir al-Manar, Dar al-Fikr, juz 2, h.329-330
[14] Al-Shan`ani, Subul al-Salam, Dar al-Fikr, juz 3, h. 7; Ibn al-Qayyim, Zadd al-Ma`ad, Dar al-Fikr, juz 4 , h. 481-491
[15] Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, h. 292-297
[16] Ibn Nujaim, Loc. Cit.
[17] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadhair, (Jakarta: Nur al-Tsaqafah), h. 60
[18] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,  Dar al-Fikr, jilid I, h. 538. Lihat buku-buku Ushul al-Fiqh tentang ta`rif Shihhah.
[19] Yusuf al-Qardlawi, Fiqh al-Zakah, Dar al-Fikr, juz 1, h. 133

2 komentar:

  1. Menerima uang haram untuk kemaslahatan umum atau kepentingan agama seperti membangun mesjid dapat dibenarkan oleh agama, sekalipun yang menyerahkannya tetap berdosa dan tidak mendapat pahala, sebab yang ditasarrufkannya itu bukan miliknya. Sementara itu menerima uang haram untuk kepentingan pribadi jelas tidak dapat dibenarkan oleh Islam (haram), kecuali dalam kondisi darurat yang pelaksanaannya harus tetap berpegang pada kaidah al-Dharurat tuqaddaru biqadriha.
    maksud dari poin "Menerima uang haram untuk kemaslahatan umum atau kepentingan agama seperti membangun mesjid dapat dibenarkan oleh agama, sekalipun [yang menyerahkannya tetap berdosa] dan tidak mendapat pahala" artinya tak ada jalan keluar bagi yang melakukannya ya admin...

    BalasHapus
  2. selamat pagi, saya ingin menanyakan mengenai status uang santunan untuk karyawan yang terkena banjir program dari perusahaan saya, apakah itu termasuk uang haram? karena menurut ayah saya, banjir yang kami alami hanya diatas mata kaki dalam rumah, dan terlalu parah. tetapi apakah kita harus menolak itikad baik dari program perusahaan?

    BalasHapus