Translete This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 20 Mei 2011

BUDIDAYA CACING DAN JANGKRIK DALAM KAJIAN FIQH


 Oleh : Dr. Ahmad Munif Suratmaputra, MA

Pendahuluan

Dunia ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Penelitian demi penelitian terus dilakukan, dan penemuan-penemuan baru pun ditemukan. Hal-hal yang  dahulu dianggap tidak berguna, nampak sepele, bahkan mungkin menjijikkan, kini berubah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis dan diperlukan. 

Sesuai dengan kemajuan zaman dan meningkatnya kebutuhan kehidupan manusia, otak manusia nampaknya terus berinovasi dan berkreasi untuk menemukan hal-hal baru dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya krismon dan krismi membawa hikmah dan berkah. Bukan saja menyadarkan manusia akan kelemahan dan kekerdilannya di tengah himpitan dan gempuran badai kehidupan, di hadapan ke-Mahabesar-an al-Khaliq, tetapi juga memaksa manusia untuk memeras otaknya agar dapat survive dalam percaturan hidup dan kehidupan ini.

Di antara sekian contoh aktual dari hal tersebut ialah maraknya budidaya cacing yang kian hari terus bertambah peminatnya. Cacing kini telah naik derajatnya, dari binatang yang menjijikkan yang dibenci, menjadi alat komoditas yang dapat mendatangkan duit. Satwa melata (al-Hasyarat) bertubuh ramping itu kini telah dinobatkan sebagai hewan multiguna. Produsen farmasi dan kosmetik konon memakai cacing untuk beberapa produknya. Bahkan ada obat untuk tifus yang dipopulerkan berbahan baku cacing. Selain itu, ia pun dimanfaatkan untuk menyuburkan tanah dan menanggulangi masalah sampah[1]. Subhanallah, Maha Suci dan Bijaksana Allah yang menjadikan segala sesuatu tiada terlepas dari hikmah dan faidah.
Contoh lain adalah jangkrik. Serangga yang di malam hari sering memamerkan kebolehan suaranya yang  nyaring, penuh irama, dan indah yang oleh karenanya disebut "Sharikh al-Lail" itu, kini ternyata sangat diperlukan untuk pakan burung-burung piaraan.[2]
Pada saat belum banyak taman burung dan pencinta yang gandrung memeliharanya, burung-burung bebas mencari makanan sendiri sesuai dengan seleranya. Setelah banyak taman burung dan banyak pencinta binatang menjadikan burung sebagai piaraan kesayangannya, kini burung-burung itu telah menjadi makhluq yang manja, bak raja dan ratu yang tinggal di istana indah, menyanyi dan bersukaria, dengan memaksa para pencintanya menjadi pelayan setianya. Mau tidak mau, mereka harus menyediakan menu makanan yang lezat dan cukup untuk keperluan hidup kesehariannya.
Di antara jenis serangga yang disajikan sebagai menu istimewa bangsa burung tersebut adalah jangkrik. Bahkan ada burung tertentu yang  apabila tidak diberi makanan jangkrik, suaranya parau, tidak bagus, tetapi begitu diberi makanan jangkrik, langsung berkicau dan manggung/bersuara nyaring dan indah.[3] Nampaknya kenyaringan suara jangkrik yang dimakannya itu langsung mempengaruhi kicau dan suara si burung tersebut.  
Kondisi tersebut mau tidak mau mendorong manusia untuk memeras otaknya, agar dengan cara mudah bisa mendapatkan jangkrik yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan burung-burung piaraan kesayangannya. Dari sini muncullah budidaya jangkrik. Dengan demikian, jangkrik yang tadinya hanya dapat dinikmati suaranya, kini telah menjadi sesuatu yang berharga yang membuka lapangan kerja dan mendatangkan fulus... Subhanallah... Rabbana Makhalaqta Haza Bathila...  

Analisis Fiqh


Sekarang timbul pertanyaan, bagaimanakah hukum budidaya cacing dan jangkrik tersebut menurut kacamata Fiqh Islam? Dapatkah hal tersebut dibenarkan sepanjang kajian Fiqh? Bukankah kedua jenis satwa tesebut termasuk ke dalam kategori al-Khabaits atau al-Hasyarat yang menurut jumhur fuqaha' hukumnya haram? Tulisan sederhana ini akan mencoba menjawab persoalan tersebut.
Imam  Syafi'i dalam ar-Risalah[4] menegaskan bahwa tak satu pun permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh umat Islam kecuali hal itu ada solusinya (dapat diketahui status hukumnya) dalam al-Quran  al-Karim (ada yang langsung/manshush  dan ada yang tidak langsung/ ghairu manshush/maskut 'anhu). Hal yang sama berlaku pada sunah sejalan dengan penegasan Rasul:[5]
اَلاَ وَاِنِّى اُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
"Ketahuilah, aku diberi kitab suci al-Qur'an, dan sunah yang kedudukannya sama dengan al-Qur'an".
Dari penegasan Imam Syafi'i tersebut muncullah teori dalam kajian Ushul Fiqh bahwa kasus hukum  (kasus yang ingin diketahui hukumnya) yang dihadapi oleh umat manusia itu dapat diklasifikasi-kan menjadi dua. Pertama, kasus yang ingin diketahui hukumnya itu telah manshush (ditegaskan hukumnya secara langsung, tegas, dan jelas) oleh teks al-Qur'an atau sunah.  Kedua,  ghairu manshush /maskut 'anhu (belum atau tidak ditegaskan hukumnya) oleh al-Qur'-an atau sunah.[6]
Untuk kelompok pertama berlaku prinsip La Majala Lahu lil-Ijitihad (tidak berlaku dan tidak diperlukan ijtihad); sementara itu untuk mengetahui status hukum kelompok kedua berlaku prinsip La-hu Majal li-Ijtihad (berlaku dan diperlukan ijtihad).[7]
Menurut hemat penulis, masalah budidaya cacing dan jangkrik termasuk kategori ghairu manshush/maskut 'anhu yang untuk mengetahui status hukumnya diperlukan ijtihad. Dengan demikian mas-alahnya adalah ijtihadi.Menurut hemat penulis, pemecahan terhadap masalah ini dapat ditempuh lewat tiga pendekatan sbb:
       1. Lewat pendekatan kaidah yang dipedomani oleh jumhur fuqaha:[8]
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat  adalah mubah/halal"
       2.  Lewat pendekatan maslahah mursalah/istishlah[9].
       3.  Lewat pendekatan maqasid syari'ah (tujuan hukum Islam).[10]       

1.  Pendekatan Kaidah al-Ashlu fi al-Manafi' al-Ibahah.      
Budidaya cacing dan jangkrik merupakan kasus baru, hukum-nya belum/tidak ditegaskan, bahkan belum disinggung sama sekali oleh al-Qur'an dan sunah. Dengan demikian masalah tersebut termasuk katagori maskut 'anhu. Jumhur fuqaha' berpendapat bahwa untuk menyelesaikan masalah yang maskut 'anhu hendaklah berpedoman pada kaidah:
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat adalah
boleh/halal".
          Kaidah ini besumber dari:
            1. Al-Baqarah, 29:
       هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِىالاَرْضِ جَمِيْعًا
 "Allah-lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian".
             2. Al-Jasiyah, 13:
   وَسَخَّرَلَكُمْ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ
"Allah menundukkan untukmu semua yang ada di langit dan di bumi (sebagai rahmat) dari-Nya".
            3.  Luqman, 20:
  اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِىالسَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin".
Wajah istidlal/metode pengambilan dalil ketiga ayat di atas ialah, bahwa   semua yang ada di muka bumi dan di langit itu diciptakan oleh Allah SWT untuk kepentingan umat manusia. Ini berarti semuanya itu halal bagi umat manusia,    kecuali bila membahayakan atau ada nashsh yang menyatakan keharamannya. 
            4. Hadis riwayat al hakim:
  مَااَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَاحَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَاسَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاَقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَاِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
"Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (al-Qur'an) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesutu apa pun".
            5. Hadis riawayt Turmuzi dan Ibnu Majah:
      اِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَحَرَّمَ اّشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَسَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ رَحْمَةً بِكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkn beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan, menentukan beberapa ketentuan,    janganlah kamu langgar, mengharamkan beberapa keharaman, janganlah kamu rusak. Dan Allah tidak menjelaskan hukum beberapa hal karena sayang kepadamu, janganlah kamu cari-cari hukumnya."
Wajah istidlal kedua hadis di atas ialah bahwa ada beberapa hal yang     sengaja tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah. Tidak dinyata-kan halal dan tidak  pula dinyatakan haram. Hal ini bukan karena Allah lupa (sebab Allah memang tidak pernah lupa), tetapi karena kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak ditegaskan halal atau haram itu, hukumnya adalah halal. Tentu selama hal itu bermanfaat, tidak membahayakan.
Budidaya cacing dan jangkrik dalam rangka  menciptakan lapa-ngan kerja  baru, mengatasi pengangguran, dan memecahkan masalah PHK jelas sangat bermanfaat. Oleh karena termasuk maskut 'anhu maka sesuai dengan keumuman ayat dan hadis di atas, dan sejalan dengan kaidah al-Ashlu fi al-Manfi' al-Ibahah, menurut hemat penulis budidaya cacing dan jangkrik tersebut hukumnya jelas mubah /halal.
     
2. Pendekatan maslahah mursalah/istislah.
   Al-Ghazali menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah:[11]

   مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْـبُطْلاَنِ وَلاَ بِالاِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
"Maslahat/kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu dari syara', yang membatalkan atau membenarkannya."
Dalam menanggapi masalah yang tidak ada penegasan hukumnya di dalam al-Qur'an, sunah, dan ijma' serta tidak dapat diselesaikan lewat qiyas, al-Ghazali selaku tokoh Ushuliyyin mazhab Syafi'i, Imam Malik dan mayoritas ashab-nya, Mayoritas mazhab Hanbali berpendapat bahwa masalah semacam itu dapat diselesaikan melalui metodologi istishlah atau berdasarkan maslahah mursalah.
Budidaya cacing dan jangkrik jelas merupakan maslahah mursalah, yaitu  suatu maslahat/kemaslahatan yang tidak ada dalil tertentu baik dari al-Qur'an maupun sunah yang membenarkan atau yang membatalkannya. Bukankah hal tersebut - seperti telah disinggung di atas - dapat membuka lapangan kerja, mengatasi pengangguran akibat PHK, dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia? Hasil budidayanya, yaitu cacing dapat dimanfaatkan  untuk menyuburkan tanah, mengatasi masalah sampah, bahan obat-obatan dan kosmetika, yang juga bernilai ekonomis. Mengenai jangkrik, dapat dimanfaatkan untuk makanan burung yang juga bisa mendatangkan fulus. Bahkan ada beberapa restoran yang menghidangkan menu jangkrik.
Berdasarkan analisis ini jelas budidaya cacing dan jangkrik untuk keperluan sebagaimana telah disebutkan di atas dapat dibenarkan (mubah/halal).
3. Pendekatan maqasid syari'ah.
Ulama telah konsensus bahwa tujuan pokok pen-syari'at-an /penetapan   hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Atas dasar ini maka muncullah suatu prinsip yang populer di kalangan fuqaha' dan ushuliyyin:[12]
                    اَيْنَمَا كَانَتِ  الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ
      "Di mana ada maslahat, di sanalah hukum Allah" (Artinya, maslahat yang tidak bertentangan dengan  prinsip-prinsip hukum Islam dapat dijadikan pertimbangan penetapan hukum Islam).
Sebagaimana telah disebutkan di atas, budidaya cacing dan jangkrik jelas merupakan maslahat. Dan masalahat ini tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip umum tujuan pensyari'atan hukum Islam. Menurut hemat penulis, justru amat sejalan. Sebagaimana diketahui, tujuan umum pensyari'atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan/bencana (جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَفْعُ الْمَفَاسِدِ/اَلْمَضَارِّ). Hal ini direalisasikan dengan memelihara lima hal yang menjadi kebutuhan primer hidup dan kehidupan manusia ( اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الضَّرُوْرِيَّاتِ الْخَمْسِ ), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan kehormatan/keturunan.
Menurut hemat penulis, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber ma'isyah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah maslahat/kemaslahatan yang berhubungan dengan upaya memelihara harta yang juga amat bersinggungan dengan kebutuhan primer yang lain, yakni agama, jiwa, akal, dan kehormatan/keturunan.  Sebab dengan budidaya itu diharapkan dapat diperoleh sumber penghasilan/ uang. Dengan uang yang memadai diharapkan akan tercukupi kebutuhan hidup seseorang dengan baik. Dengan tercukupi kebutuhan hidupnya dengan baik, akan sehat fisiknya, terpelihara jiwanya, sehat akalnya, terpelihara kehormatan/keturunannya, dan agamanya. Bukankah al-Qur'an telah menegaskan bahwa uang/harta merupakan tulang punggung kehidupan?[13]
Bukankah Rasulullah telah menegaskan bahwa kefakiran dapat berdampak pada kekufuran?[14]
      Atas dasar ini maka lewat pendekatan maqasid syari'ah, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber penghidupan, menurut hemat penulis hukumnya jelas halal. Bahkan bisa menjadi wajib bila tidak ada lapangan kerja lain selain itu. Sementara itu ia dituntut harus memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya,  Mim Babi Ma La Yatimmu al-Wajib Illa Bih fahuwa Wajib. Bukankah pelaksanaan ibadah amat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, berupa papan, pangan, dan sandang?
Dari urain di atas dapat diambil kesimpulan bahwa status hu-kum budidaya cacing dan jangkrik dengan tujuan sebagaimana telah disebutkan di atas, baik lewat pendekatan kaidah al-Aslu fi al-Mana-fi' al-Ibahah, maslahah mursalah, maupun maqasid syari'ah adalah mubah/halal.

Hukum HASYARAT[15] Dan Berobat Dengan Yang Haram/Najis

Mengingat jangkrik dan cacing termasuk kategori al-Hasyarat, untuk lebih memperjelas masalah ini perlu kita ketahui pandangan fuqaha' tentang al-Hasyarat. Fuqaha' berbeda pendapat mengenai hukum al-hasyarat. Imam Abu Hanifah dan asy- Syafi'i berpendirian bahwa al-Hasyarat hukumnya haram. Sebab al-Hasyarat terma-suk al-Khabais, sejalan dengan ayat Wa Yuharrimu 'Alaihim al-Khabais. Sementara itu Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Auza'i berpendapat,  al-hasyarat hukumnya halal.[16]
Perlu dicatat buku-buku fiqh yang menyebutkan pandangan mazhab Maliki ini ada yang menyatakan harus disembelih dan ada pula yang tidak menyebutkan ketentuan tersebut. Yang dimaksud dengan disembelih di sini ialah binatang itu dimatikan terlebih dahulu dengan cara apa saja, misalnya dengan dipotong lehernya, anggota  badannya, dibakar, direndam di air panas, dihanyutkan, dll[17]. Jadi bukan di-sembelih dalam pengertian syar'i seperti pada sapi, kambing dan sejenisnya.
Kemudian, tentang boleh tidaknya berobat dengan hal-hal yang haram/najis, fuqaha' berbeda pendapat menjadi tiga golongan sbb:[18]
1. Pendapat pertama menyatakan, boleh berobat dengan yang haram atau najis dalam keadaan darurat. Argumentasi kelompok ini ialah:
a.    Rasulullah SAW membenarkan Abdurrahman bin 'Auf memakai sutra ketika ia sedang terkena penyakit kulit. Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan darurat diperbolehkan mempergunakan yang haram.
b.    Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menyuruh beberapa orang dari qabilah 'Urainah yang sedang sakit di Madinah untuk berobat dengan minum susu dan air kencing unta. Mereka mengikuti petunjuk Rasulullah dan ternyata sembuh (Muttafaq 'alaih).
Hal ini menunjukkan bahwa berobat dengan yang najis/haram itu boleh pada saat tidak ada pilihan yang lain.
2.  Pendapat kedua menyatakan, haram secara mutlak.Argumentasi kelompok ini ialah:
        a. Hadis riwayat Abu Dawud bahwa Nabi bersabda:

اِنَّ اللهَ اَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikan obat pada tiap-tiap penyakit. Untuk itu berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram."      
         b.  Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang berobat dengan yang najis/haram (Abu Dawud).
Dua hadis di atas secara tegas melarang berobat dengan yang haram/najis. Dua hadis ini diihtimal-kan oleh kelompok pertama di luar kondisi darurat.
        3. Pendapat ketiga menyatakan dalam kondisi darurat boleh berobat dengan yang haram/najis, kecuali khamar. Argumentasi mereka adalah alasan yang dipakai oleh kelompok pertama ditambah hadis riwayat Muslim:

اِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

         "Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit".
     Menurut penelitian Dr. Abu Sari' Abdulhadi, di antara tiga pendapat di atas, pendapat pertamalah yang paling kuat, yaitu pendapat yang membenarkan berobat dengan yang haram/najis dalam kondisi darurat.[19]
      Kalau pandangan para fuqaha' tentang al-hasyarat dan berobat dengan yang haram/najis tersebut kita bawa kepada masalah cacing
maka ada dua kemungkinan yang dapat kita tempuh:
     1. Pertama mengkuti pandangan mazhab Maliki, Ibn Abi Laila, dan Auza'i yang menyatakan bahwa al-Hasyarat hukumnya halal. Dengan mengikuti pandangan ini maka cacing dapat dijadikan bahan obat-obatan atau kosmetika, selama menurut penelitian dokter/para ahli tidak membahayakan.  Dalam hal ini tidak perlu menunggu kondisi darurat. Demikian juga, dengan mengikuti pandangan ini, cacing dan jangkrik dapat dikonsumsi bagi mereka yang memerlukannya. Kini jangkrik merupakan salah satu menu yang dapat ditemukan di beberapa restoran bagi para penggemarnya.
    2. Mengikuti pandangan Abu Hanifah, dan asy-Syafi'i yang menyatakan bahwa al-hasyarat hukumnya haram digabung dengan pendapat yang rajih/ kuat (pendapat pertama) yang membenarkan berobat dengan hal-hal yang haram/najis dalam kondisi darurat. Dengan mengikuti pandangan ini, kita dapat membenarkan penggunaan cacing untuk obat dengan catatan tidak ada alternatif lain (darurat), sejalan dengan kaidah adl-Dlarurat Tubihu al-Mahdhurat, selama menurut para ahli tidak membahayakan.
     Lalu bagaimana kalau cacing tersebut untuk keperluan kosmetika? Menurut hemat penulis kosmetika bisa termasuk hajiyat (kebutuhan sekunder) dan dapat juga termasuk tahsiniyat (pelengkap dan penyempurna), tergantung sikonnya. Bahkan dapat meningkat menjadi hajiyat yang menempati level dlaruriyat (kebutuhan yang mendesak) sejalan dengan kaidah al-Hajat Tunazzalu Manzilat adl-Dlarurat, seperti apabila keharmonisan rumah tangga suami istri banyak tergantung dengan ukuran-ukuran tertentu dalam bersolek yang mesti dilakukan oleh seorang istri. Dalam kondisi semacam ini jelas dibenarkan bagi seorang istri mempercantik dirinya dengan kosmetika yang ramuannya terbuat dari cacing. Tentu selama tidak membahayakan. Hal ini lebih bisa dibenarkan lagi kalau kita mengikuti pandangan Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Auza'i yang menyatakan bahwa al-Hasyarat seperti cacing adalah halal. Artinya ia tidak dajis. Perlu diketahui bahwa maslahat hajiyat yang menempati level daruriyat menurut al-Ghazali dapat dijadikan istislah/maslahah mursalah untuk menetapkan hukum Islam. Sementara itu Asy-Sya-tibi, mayoritas ulama Malikiyah dan  Hanabilah membenarkan maslahat dengan semua tingkatannya (dlaruriyat/primer, hajiyat/ sekunder, dan tahsiniyat/pelengkap dan penyempurna) sebagai istislah/maslahah mursalah dalam penetapan hukum Islam.



Penutup
      
Dari uraian di atas kiranya dapat penulis simpulkan bahwa sepanjang kajian  fiqh, baik lewat pendekatan kaidah al-Ashlu fi al-Manafi' al-ibahah, maslahah mursalah, maupun maqasid syari'ah, budidaya cacing untuk keperluan pengobatan dan kosmetika serta budidaya jangkrik untuk pakan burung jelas dapat dibenarkan. Hukumnya mubah/halal dengan argumentasi sebagaimana telah disebutkan, Mubah/halal ini merupakan hukum asal. Ia  bisa bergeser menjadi wajib, haram, makruh, sunat sesuai dengan perubahan kondisi dan situasi, sejalan dengan kaidah:[20]

لاَ يُنْكَرُتَغَيُّرُ الْفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسَبِ تَغَيُّرِ الاَزْمِنَةِ وَالاَمْكِنَةِ وَالاَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَالْعَوَا ئِدِ

"Tidak dapat diinkari adanya perubahan dan perbedaan fatwa sesuai dengan perubahan kondisi, situasi, motivasi, dan tujuan”.
               اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
      "Hukum itu beredar bersama 'illatnya mengenai ada dan tidak adanya" .
Sebagai contoh misalnya, seorang kepala rumah tangga yang harus menghidupi keluaganya, terkena PHK. Ia sulit menemukan lapangan kerja baru. Semua usahanya gagal. Akhirnya ia beternak cacing atau jangkrik, dan inilah satu-satunya usaha yang harus digelutinya. Dalam kondisi semacam ini, wajib baginya mengatasi problem ekonomi keluarganya melalui budi daya cacing atau jangkrik tersebut. Sebab, bila tidak ia dan keluarganya akan mati kelaparan.
Demikian  juga  budidaya  jangkrik  itu  dapat dihukumi haram, apabila tujuannya untuk diadu, apa lagi bila disertai taruhan. Tentu nilai keharamanya akan lebih berat lagi. Sebab dalam kondisi semacam ini telah berubah menjadi maisir/judi. Dan budidayanya itu sendiri menjadi Zari'atan Ila al-Maisir (sarana bagi terjadinya perjudian). Berdasarkan Sad az-Zari'ah maka budidayanya  itu hukumnya menjadi haram.
Berbeda halnya misalnya ada seorang pemuda yang amat sangat kepengen kawin. Sementara ia tidak menemukan baah/biaya nikah. Ia pun tidak sanggup berpuasa untuk   membentengi dorongan biologisnya. Baginya tidak ada kemampuan lain kecuali beternak cacing atau jangkrik untuk menghasilkan biaya pernikahannya. Dalam kondisi semacam ini, bedasarkan kaidah Ma La Yatimm al-Wajib Illa bih fahuwa Wajib[21], wajib bagi pemuda tersebut melakukan budidaya cacing atau jangkrik untuk mengatasi problem pribadinya.
Demikian juga, budidaya cacing dan jangkrik itu bisa menjadi sunnat apabila dimaksudkan untuk pelestarian alam, objek penelitian, tafakkur fi alaa' Allah, guna memantapkan iman; sehingga muncullah ucapan yang tulus dari mulutnya: Rabbana Ma Khalaqta Haza Bathila... Wallahu A' lam...



[1] Onny Untung, Majalah Trubus No.357, Edisi Agustus 1999, h. 2
[2] Dyah Habib/Ali Akipin, Tabloid Peluang, No. 41/Tahun I/20-26 Agustus 1999, h. 6-9.
[3]Ibid.
[4] Asy-Syafi'i, ar-Risalah, (al-Qahirah: al-Babi al-Halabi, 1947), h. 20
[5] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1955), juz  IV, h. 279.
[6] Ar-Razi, al-Mahshul fi 'Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1988), juz II, h. 39, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Imiyah, 1985), juz IV, h. 164, Abd al-Wahhab al-Khallaf, Mashadir at-Tasyri' fi Ma la Nashsha Fih, (Damsyiq: Dar al-Qalam, t.th.), h. 8 - 10.
[7] Ibid.
[8] Al-Asnawi, Nihayah as-Sul fi Syarh  Minhaj al-Wusul, (Beirut: 'Alam al-Kutub, 1982), juz  IV, h. 352.
[9] Al-Ghazali, al-Mustasfa min 'Im al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), juz I, h. 286-287, Asy-Syatibi, al-I'tisham, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1957), juz II, h. 113-115, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), juz I, h. 16.
[10] Abdullah Darraz, Syarh Jalil 'ala al-Muwafaqat, (Beirut: Dar al-Malayiin, 1987), juz I, h. 5-6.
[11]Al-Ghazali, op. cit., (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), juz I, h. 286.
[12]Yusuf al-Qardlawi, al-Ijtihad al-Mu'ashir, (Bairut: Dar at-Tauzi' wa-an-Nasyr al-Islami, 1994), h. 68.
[13]QS. an-Nisa, 5.
[14]Abu Nu'aim dari Anas bin Malik.
[15]Dalam buku-buku kamus Arab disebutkan bahwa al-hasyarat ada dua macam. Ada yang bersayap (dapat) terbang, dan ada yang tidak bersayap (melata). Secara umum biasanya fisiknya kecil-kecil. Ada yang darahnya mengalir (lahu dam sail) dan ada yang darahnya tidak mengalir (laisa lahu dam sail).
[16]Ibn Qudamah, al-Mughni wa-asy-Syarh al-Kabir, juz XI, h. 64.
[17]Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, (Dar al-Fikr, 1954), juz II, h. 3.
[18]Abu Sari' Muhammad Abdulhadi, al-Ath'imah wa az-Zabaih fi al-Fiqh al-Islami (Dar al-I'tisham, t.th), h. 306-3-9.
[19]Ibid.
[20]Ibn al-Qayyim, A'lam al-Muwaqqi'in, (Beirut: Dar al-Fikr, 1955), juz III, h. 3,  as-Syaukani, Irsyad al-Fukhul, (Beirut: Dar al-Malayin, 1945), h. 223.
[21]Asy-Syirazi, al-Luma' fi Ushul al-Fiqh, (al-Qahirah, al-Babi al-Halabi, 1943), h. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar