A.
Al-Qur’an Adalah Kitab Suci : Kapan dan Bagaimana
1.
Pengertian al-Qur’an
Kata
al-Qur’an secara etimologi, merupakan mashdar (kata benda)
dari kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا) [keduanya berarti: membaca],
atau bermakna al-Jam’u (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat
mengucapkan, Qoro-’a- Qor’an Wa Qur’aanan (قرأ قرءا
وقرآنا) sama
seperti anda mengucapkan, Ghofara Ghafran Wa Qhufroonan (غفر غفرا
وغفرانا).
Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata
benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca).
Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: al-Jam’u) maka ia adalah
mashdar dari Isim Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) karena
ia mengumpulkan atau mengoleksi informasi-informasi dan hukum-hukum.
Secara terminologi (syariat), adalah
Kalam Allah Ta’ala
yang diturunkan kepada Rasul-Nya,
Muhammad saw, dengan perantaraan malaikat Jibril as dan disampaikan kepada umat
Muhammad saw secara mutawatir, diawali dengan surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat an-Naas, serta
membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah.
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلا
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah
menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.”
(al-Insaan:23)
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya
berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini
dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala
telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.”
(al-Hijr:9)
2.
Nama-nama
al-Qur'an
Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat
beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada
Al-Qur’an itu sendiri. Berikut
adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
3.
Adz-Dzikr
(pemberi peringatan): QS(15:9)
4.
Al-Mau’idhah
(pelajaran/nasehat): QS(10:57)
5.
Al-Hukm
(peraturan/hukum): QS(13:37)
6.
Al-Hikmah
(kebijaksanaan): QS(17:39)
7.
Asy-Syifa’
(obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
8.
Al-Huda
(petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
9.
At-Tanzil
(yang diturunkan): QS(26:192)
10.
Ar-Rahmat
(karunia): QS(27:77)
11.
Ar-Ruh
(ruh): QS(42:52)
13.
Al-Kalam
(ucapan/firman): QS(9:6)
14.
Al-Busyra
(kabar gembira): QS(16:102)
15.
An-Nur
(cahaya): QS(4:174)
16.
Al-Basha’ir
(pedoman): QS(45:20)
17.
Al-Balagh
(penyampaian/kabar) QS(14:52)
18. Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
3.
Surat,
ayat dan ruku’
Terdapat
perbedaan ulama tentang jumlah ayat di dalam al-Qur’an. Namun, menurut Ibnu Katsir, jumlah ayat dalam al-Qur’an ada 6000.
Jumlah kata-katanya sebanyak 77. 439 kata. Jumlah hurufnya sebanyak 340.740
huruf. Jumlah suratnya sebanyak 114 surat. Ayat yang terpanjang ialah surat
al-Baqarah dengan 286 ayat. Yang terpendek sebanyak 3 ayat, terdapat pada surat
al-Kautsar dan an-Nashr. Pertengahan al-Qur’an itu terdapat pada hururf fa (ف) dalam kalimat walyatalatthaf (وليتلطف).
4.
Sejarah al-Qur’an Hingga berbentuk Mushaf
Al-Qur’an memberikan dorongan
yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak
memihak. Dengan
demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur’an,
sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih
mendekati landasan penanggalan astronomis.Al-Qur’an tidak turun sekaligus. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 22
tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para
ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan
periode Madinah.
Periode Mekkah berlangsung selama
12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat surat yang turun pada waktu ini tergolong surat
Makkiyyah. Sedangkan
periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun
dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.Penulisan
(pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur’an
sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai
saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah
Utsman bin Affan.
5. Pengumpulan Al-Qur’an di masa Rasullulah
SAW
Pada masa ketika
Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk
menuliskan Al Qur’an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu
Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu
tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu
berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu,
pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak
juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah wahyu
diturunkan.
6.
Pengumpulan
Al-Qur’an di masa Khulafaur Rasyidin
a.
Pada
masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang
Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah
yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan
keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh
tulisan Al-Qur’an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar
lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas
tersebut. Setelah
pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur’an tersusun secara rapi dalam satu
mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan
mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar
sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni
Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
b.
Pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3
yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an
(qira’at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang
berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman
sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin
mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang
baku.
Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar).Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar).Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Mengutip
hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih: Suwaid bin Ghaflah
berkata,
“Ali
mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang
telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur’an sudah atas persetujuan
kami. Utsman
berkata, ‘Bagaimana pendapatmu tentang isu qira’at ini? Saya mendapat berita
bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira’atnya lebih baik dari qira’at orang
lain. Ini
hampir menjadi suatu kekufuran’.
Kami berkata, ‘Bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Aku
berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi
perpecahan dan perselisihan.’
Kami berkata, ‘Pendapatmu sangat baik’.”
Menurut
Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mahabits fi ‘Ulum Al Qur’an, keterangan ini
menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya
Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada
padanya. Lalu
Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu
Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin
Hisyam. Ia
memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan
antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam
bahasa Quraish karena Al Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu
ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah
(mushaf al-Imam).