Translete This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 19 Mei 2011

GLOBALISASI DAN TANTANGAN DAKWAH



Oleh : Maulana Abdul Hamid, Lc

 
I.          PENDAHULUAN
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi[1] sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional.[2] Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar abad ke-1-7 M.[3] Saat itu, para pedagang Muslim Arab, Persia, dan India, Tiongkok mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat maupun jalan laut untuk berdagang.[4]
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.[5]
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antar negara pun mulai kabur.[6]
Hal ini, tentunya akan membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap orientasi dakwah. Untuk mendukung hal tersebut kajian-kajian syariat perlu disejajarkan dengan kajian-kajian non syariat yang merujuk kapada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena perkembangan teknologi terutama perkembangan teknologi komunikasi tidak hanya mempengaruhi satu bidang kehidupan masyarakat  melainkan hampir mempengaruhi seluruh bidang kehidupan. Oleh sebab itu, selain  memanfaatkan perkembangan teknologi itu sendiri dakwah juga diharapkan sebagai penyeimbang terhadap akibat dari perkembangan teknologi itu sendiri. Keragaman hidup duniawi, serbuan berbagai nilai yang bersifat hedonisme dan konsumerisme dakwah dapat memberikan arahan  dan bimbingan agar umat tidak mengalami disorientasi dalam rumah peradaban dunia yang penuh dinamika.[7] 
Dengan demikian menurut pemakalah perlu di adakan kajian kembali yang lebih komprehensif tentang makna globalisasi, sejarah globalisasi, bentuk-bentuk globalisasi, serta sampai di mana  besarnya pengaruh globalisasi terhadap dunia Islam. Munculnya era globalisasi ini merupakan tantangan dalam dunia dakwah, mau atau tidak semua manusia akan mengalaminya. Nah, untuk mengarungi postmodernism ini, dibutuhkan langkah-langkah yang konkrit dan sistematik untuk di jadikan sebagai acuan hidup yang di harapkan mampu mengembalikan manusia kepada maksud dan tujuan ia di ciptakan, dengan memanfaatkan kemajuan dunia globalisasi. Tentunya pasti akan ada rintangan-rintangan serta hambatan yang harus di hadapi, karena tidak semua kemajuan yang ada di era globalisasi ini di terima oleh ajaran Islam. Maka untuk lebih spesifik, perlulah kiranya kita memahami tantangan-tantangan tersebut yang akan di sajikan dalam bentuk GLOBALISASI DAN TANTANGAN DAKWAH.[8]  

II.        GLOBALISASI DAN TANTANGANNYA TERHADAP DAKWAH ISLAMIYAH

Al-Aulamah (globalisasi) merupakan istilah yang di perhalus dari penjajahan baru. Globalisasi dalam bentuknya yang paling jelas dewasa ini mempunyai maksud westernisasi dunia atau dengan ungkapan lain : Amerikanisasi dunia. Istilah yang sangat gencar di kampanyekan ini merupakan keharusan pengawasan dalam bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan sosial yang di lakukan oleh Amerika terhadap dunia, khususnya dunia Islam. Maka dalam bab ini akan di bahas tentang globalisasi poltik, globalisasi ekonomi, globalisasi kebudayaan, globalisasi agama berikut tantangan-tantangannya dalam dunia dakwah.
1.         Globalisasi Politik
            Di tinjau dari lingkungan nasional kondisi persatuan dan kesatuan bangsa dapat di katakana mengalamai perubahan yang sangat signifikan. Globalisasi politik ini dapat mengakibatkan ancaman dalam bentuk subversi asing yang ingin memaksakan kehendak politknya yang bertentangan dengan ideologi setiap bangsa. Hal ini akan memicu loyalitas masyarakat terhadap bangsa menjadi berkurang.[9]
Tujuan dari pada globalisasi politik ini sebenarnya ingin menjadikan dunia dalam satu kekuasaan yang akan di kendalikan oleh Negara yang memiliki kekuatan super power, tentun saja dalam hal ini adalah Amerika. Adanya kekuatan super power ini,  semua Negara-negara di paksa untuk ikut dalam semua peraturan yang di tentukannya. Secara signifikan globalisasi sebenarnya telah melemahkan Negara. Kedaulatan Negara menjadi kabur. Karenanya kapasitas Negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional dan sebagai kekuatan domestik untuk mensejahterakan rakyat semakin di pertanyakan. Di tingkat  internasional  secara substansional Negara melemah karena pergesaran pertanyaan dari : Apa itu Negara?, dan menjadi siapa itu Negara?. Hal ini terutama di sebabkan oleh fakta bahwa Negara dalam politik domestik dan internasional lebih banyak mewakili dan memperjuangak kepentingan pemegang otoritas (keluarga, kelompok dan sebagainya yang secara kasat mata termanifestasi di publik domestik dan dunia) dari pada kepentingan seluruh warga Negara yang ada di wilayahnya yang menjadi sebab adanya negara tersebut.[10]
Di samping itu pemerintah yang memegang otoritas Negara sering kali takluk dengan kepada kepentingan bisnis transnasional dan domestik serta tunduk kepada massa yang mengendalikan poltik yang memiliki kapasitas untuk mobilisasi kekerasan dan kejahatan. Munculnya kekuatan-kekuatan non-pemerintah yang memiliki jaringan mulai dari tingkat lokal sampai tingkat global yang juga mempengaruhi kebijakan dan tata kelola pemerintah mulai dari sub-nasional, nasional, regional sampai kepada global. Organisasi-0rganisasi ini juga sering terlibat dalam diplomasi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dan kepentingan tertentu. Bahkan mereka bergandengan tangan dengan aktor-aktor tertentu dalam kanca diplomasi internasional. Karena itu pemisahan antara aktor Negara dan non-negara dalam era globalisasi mengaburkan batas tertorial dan batas pengaruh suatu bangsa.[11]
Perdebatan yang paling besar dalam dunia politik adalah berkenaan dengan nasib Negara atau bangsa modern, beberpa pertanyaan yang perlu di ajukan adalah :
1.         Sebab-sebab politik apakah yang mendorong arus massif capital, uang, dan teknologi melintasi batas-batas territorial?
2.         Apakah arus ini merupakan tantangan yang serius terhadap keberdayaan nationstate?
3.         Bagai manakah dampak munculnya oraganisasi-organisasi intergovernmental terhadap konsep kedaulatan Negara dan bagai mana prospek global governance?
           
Dalam merumuskan jawaban di atas menurut Subhihar dan Indra K,[12] ada empat pendapat yang berbeda-beda.
            Pertama,  mereka mengaggap bahwa globalisasi merupakan proses yang secara instrinsik berkaitan dengan ekspansi pasar. Secara lebih khusus, kemajuan pesat dalam teknologi komputer dan sistem komunikasi seperti jaringan lintas dunia  di pandang sebagai kekuatan utama yang bertanggungjawab atas terciptanya pasar global. Menurut pandangan ini politik nyaris tanpa daya di hadapan truk besar teknoekonomi yang tak terhalau yang akan melabrak upaya pemerintah mengintroduksi kembali kebijakan dan aturan-aturan yang restriktif. Pembagian wilayah tidak lagi relevan dengan masyarakat, Negara tidak lagi mampu menderminasi arah kehidupan social dalam batas-batas wilayah mereka. Negara dalam pendisplinan pasar global semakin kerdil kemampuannya dalam mengontrol nilai tukar dan memproteksi mata uangnya.[13]
            Kedua, Menampik anggapan bahwa perubahan ekonomi skala besar semata terjadi dalam masyarakat sebagai sesuatu yang alamiah seperti misalnya gempa bumi. Melainkan mereka menyoroti peran sentarl politik khususnya mobiltas kekuasaan politik dalam menebarkan jaringan-jaringan diseminasi globalisasi. Jika bentuk globalisasi ekonomi di tentukan oleh politik maka preferensi politik yang berbeda akan menghasilkan kondisi sosial yang berbeda pula.[14]
            Ketiga, Glibalisasi adalah sebagai akibat dari perpaduan antara faktor politik dan teknologi. Pembiakan teknologi baru yang cepat dan tak dapat di elakkan merambah ke seluruh penjuruh dunia yang membuat modernisasi masyarakat dunia yang di bombing oleh teknologi menjadi sebuah takdir sejarah. Namun tidak ada Negara yang memiliki kekuatan hegemoni yang mewujudkan pasar bebas sejagat. Dunia akan runtuh tatkala keseimbangannya tidak lagi dapat di pertahankan. Karena itu, perang perdagangan akan membuat kerjasama inteernasional akan lebih sulit.[15]
            Keempat, Ilmuwan politik seperti Held dan Falk dalam tulisan-tulisan mereka mengartikulasikan perlu adanya global governance sebagai konsekuensi logis proses globalisasi. Keduanya menggambarkan bahwa globalisasi telah mengikis pemerintah nasional. Held menawarkan munculnya bentuk demokrasi multi lapis yang bercita-cita pada cosmopolitan barat, pengaturan hukum internasional dan jaringan luas yang menghubungkan antara berbagai institusi kepemerintahan dan non kepemerintahan.[16]
Tantangan yang paling berat di lingkungan dakwah adalah karena seorang da’i harus berhadapan dengan aktor utama yaitu pemerintah yang tidak menjalankan fungsinya untuk memenuhi kepentigan masyarakat atau rakyatnya. Karena pemerintah yang membuat undang-undang, kebijakan, perjanjian dengan Negara-negara lain atau lembaga-lembaga internasional. Masuknya informasi-informasi dari luar tanpa adanya penyaringan sehingga akan membahayakan martabat dan moral bangsa, masyarakat tidak merasa lagi memiliki Negara karena ia milik global. Seruan akan adanya kebebasan antara kaum pria dan wanita di kanca politk dunia makin menunjukan pamornya. Undang-undang Internasional yang di sebut globalisasi itu kembali memperlihatkan kekuatannya meiliter, hancurnya dunia Islam itu karena gencarnya Negara-negara barat untuk mangatur peraturan global dunia sehingga mereka dengan leluasanya menyerang dunia Islam kapan saja mereka mau bahkan mereka juga mampu mambasmi gerakan-gerakan Islam yang berada di dunia Islam. Ini menunjukan bahwa Islam sudah tidak memiliki nyali lagi di mata dunia. Penangkapan para aktifis dakwah Islam kian berani di mana-mana dengan dalih bahwa mereka adalah teroris, pada hal semua itu tidak memiliki bukti yang kuat, bahka kalau di telusuri lebih konkrit ternyata merekalah yang berada di balik kejahatan yang berada di dunia Islam selama ini.[17]

2.         Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi menimbulkan masalah-masalah yang bersifat global pula. Masalah globalisasi dalam tatanan ekonomi nasional Indonesia dapat dilihat dari dua sudut pandang: dampak globalisasi terhadap kondisi internal dan dampak globalisasi terhadap kondisi eksternal. Bentuk dampak pada kedua sisi ini pun dapat berupa dampak positif dan dampak negatif.[18]
Dalam hal dampaknya pada kondisi internal, globalisasi dapat mengubah pola perilaku pelaku ekonomi dalam proses produksi di satu pihak dan perubahan struktural ekonomi serta kebijakan ekonomi pemerintah di lain pihak. Perubahan dalam proses produksi antara lain dapat meliputi efisiensi dan intensifikasi penggunaan faktor produksi, bertambahnya frekuensi perdagangan dan investasi pada sektor-sektor yang dapat diperdagangkan (tradeable), serta berkembangnya industri nasional yang kompetitif. Sedangkan perubahan struktural yang mungkin terjadi dapat meliputi perubahan dalam sektor ekonomi dan orientasi sektor tradisional kepada sektor ekonomi modern. Perkembangan ini membawa implikasi pada perubahan kebijakan ekonomi mikro perusahaan, makro ekonomi, kebijakan pasar, dan lain-lain.[19]
Perubahan pada kondisi eksternal, dapat meliputi perubahan dalam kebijakan perdagangan dan investasi internasional, sistem moneter internasional, dan hubungan ekonomi internasional lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi ini selanjutnya tidak lagi dapat diidentifikasikan sebagai kegiatan nasional, melainkan sudah bersifat global. Selain dampak globalisasi pada aspek ekonomi, globalisasi dapat pula menimbulkan perubahan pada bidang non-ekonomi, seperti dalam sektor pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan lingkungan hidup.[20]
Positif  atau negatifnya dampak yang ditimbulkan dengan adanya perubahan-perubahan itu sangat tergantung pada kemampuan daya saing produk yang dihasilkan, kualitas sumber daya manusia, kemampuan adaptasi, dan kebijakan pemerintah. Apabila faktor-faktor ini dimiliki oleh suatu perekonomian, maka walaupun globalisasi dapat menghasilkan berbagai perubahan perekonomian suatu negara, globalisasi justru dapat memberikan keuntungan bagi perekonomian itu sendiri.[21]
Dampak globalisasi ekonomi cenderung akan menghasilkan kondisi eksternal negatif jika perekonomian kita tidak dapat bersaing dan tetap ifisien. Adanya eksternalitas negatif ini merupakan akibat dari ketidakmampuan pelaku ekonomi nasional dalam memperebutkan peluang pasar dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber perekonomian nasional. Hal ini terutama karena kekuatan dan daya saing ekonomi nasional kita masih lemah. Kurangnya daya saing ini terutama disebabkan karena kelemahan implementasi kebijakan protektif pemerintah selama lebih dari tiga dekade. Seperti yang banyak kita ketahui, industri kita – terutama manufaktur – banyak yang memulai infant industry-nya di proses produksi hilir yang diproteksi oleh kebijakan pemerintah – seperti perakitan mobil dan penguliran pipa misalnya. Sayangnya implementasi kebijakan protektif tersebut tidak dibarengi dengan suatu kondisi yang dapat ‘memaksa’ pelaku industri untuk menginvestasikan hasil keuntungannya ke proses produksi hulu. Para pelaku industri justru banyak yang menginvestasikan hasil keuntungan dari kebijakan protektif tersebut ke jenis industri lain yang juga di proses produksi hilir. Akibatnya sampai sekarang industri kita masih bergantung pada import resources untuk input produksinya; baik itu humanware, technoware, infoware, orgaware, maupun pendanaan. Industri kita hanya mampu membuat barang “made in Indonesia” tetapi bukan “made by Indonesians” karena ‘ruh’ teknologinya belum dikuasai penuh.[22]
Krisis multi dimensi yang masih berlanjut hingga saat ini, walaupun intensitasnya berkurang, dapat memperparah kerentanan ekonomi nasional. Proses pemulihan ekonomi kita relatif lamban dibandingkan negara-negara Asia lain seperti Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Negara-negara ini secara umum telah pulih dari krisis yang dialaminya. Oleh karena itu, dalam keadaan ekonomi nasional yang semakin terintegrasikan dengan tatanan ekonomi dunia pada abad 21, kondisi yang diperlukan adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan setiap perkembangan yang terjadi, dalam pengertian dapat memanfaatkan dengan baik peluang yang muncul dan menangkal dampak negatifnya. Langkah penyesuaian ini harus dilakukan dalam bentuk kebijaksanaan makro, sektoral, serta mikro yang adil dan merata. Selain itu diperlukan juga penyusunan rumusan skenario kebijakan ekonomi nasional agar eksternalitas negatif dari globalisasi dapat diminimalkan, bahkan mengubahnya menjadi peluang-peluang (opportunities).[23]
Maka globalisasi pada akhirnya akan menggilas perekonomian nasional karena ketatnya persaingan dengan pelaku ekonomi dari luar di hampir seluruh kegiatan ekonomi. Tergilasnya ekonomi dapat menimbulkan krisis ekonomi babak kedua yang akan menyebabkan semakin besarnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat, tingginya tingkat pengangguran, kompetisi yang tidak sehat antar pelaku ekonomi, dan memperparah kerusakan lingkungan hidup.[24]

3.         Globalisasi Kebudayaan
            Para budayawan melihat bahwa budaya pada awlannya suatu yang inedpenden bagi setiap bangsa, namun sejak kemajuan budaya terutama dibidang teknologi komunikasi, budaya tidak lagi bersifat independen, kini yang terjadi adalah munculnya hegemoni budaya, yang melahirkan satu bangsa dengan multi budaya. Lajunya kebudayaan material terutama dalam segi material seperti kebutuhan hidup, teknologi, barang atau perlengkapan terlebih sejak ditemukannya mikro prosesor pertama 1971 yang dibantu oleh penemuan PC pertama 1975 dan internet 1993 pilarpilar budaya local semakin rapuh. Jauh sebelum itu tahun 1920 angaya Jazz dengan rambut pendek kaum wanita saja sudah dapat merambah dunia. Apalagi dengan adanya instrumen seperti internet tahun 1997 an dapat dibayangkan kecepatan asimilasi dan akulturasi semakin laju.[25]
Dari sudut sosiol, seperti diungkap terdahulu pengaruh industrialisasi telah menggeser keluarga. Artinya nilai-nilai keluarga terkubur dengan nilai factory dan pabrik, bagaimana jadinya jika setiap anggota keluarga bebas menerima informasi tanpa batas, tentusaja format keluarga menjadi berubah, panggilan, keharmonasian, dan kehawatiran juga akan berubah. Di AS karena kehawatiran akan apa yang ditemui anaknya di luar rumah para orang tua telah membudayakan home schooling, sekolah dirumah-rumah sejak tahun 1999.[26]
Selanjutnya, globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.[27]
Manusia harus berhadapan dengan seni yang digunakan untuk menjajah masyarakat dunia, padahal inilah bermulanya segala masalah. Dalam hal ini, dapat di ambil contoh yaitu industri perfilman Hollywood. Industri ini mengeluarkan 700 film dalam setahun dan mempunyai banyak sekali peminat di seluruh dunia sehingga secara praktis, film telah berubah menjadi sarana penjajahan Amerika. Namun, menurut doktor Bulkhari, masalah ini tidak bisa dilihat hanya dari sudut seni saja. Dalam kasus ini, Barat atau khususnya AS, telah mengunakan seni sebagai alat untuk menyebarkan imperialismenya di dunia. Dalam pandangan peneliti Iran ini, Barat sesungguhnya telah berhasil dalam menciptakan karya seni berkualitas tinggi, namun yang menjadi masalah adalah isi atau kandungan yang disampaikannya.[28]
Secara umum, dari berbagai tema yang dibahas ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar para peneliti di negara-negara Asia dan Islam sepakat bahwa bangsa-bangsa Dunia Ketiga haruslah melepaskan diri dari sikap pasif dalam menghadapi globalisasi.[29]
Mereka haruslah berupaya secara aktif mengenalkan potensi-potensi yang tersembunyi di negara-negara Dunia Ketiga, terutama negara-negara Islam, kepada bangsa dan budaya-budaya lain. Bahkan arus globalisasi akan dengan mudah saja mendatangkan musibah kepada seni kita, karena ia sama seperti badai taufan yang mungkin mencabut akar budaya. Tetapi dari sudut pandang yang lain, globalisasi bisa memberikan kesempatan istimewa untuk bangsa-bangsa yang kaya dengan budaya. Seni kita akan tersebar ke luar batas negara dan memberikan pengaruh kepada dunia. Sejarah menyaksikan bahwa pada berbagai era kegemilangan, seni dari Iran, India, dan Italia berkembang sampai ke negara-negara yang jauh. Masalah inilah yang mungkin terjadi hari ini. Karena itu, bangsa Asia yang percaya kepada kekuatan akar budaya mereka tidak perlu takut pada pengaruh asing. Kita harus berusaha untuk memahami bagaimana seni bisa menjadi tameng pertahanan budaya dan tradisi.[30]

4.         Globalisasi dan Tantangan Dakwah
Pada era globalisasi ini kita menyaksikan terjadinya persaingan yang tidak seimbang antara apa yang dikelompokkan sebagai Barat dan Timur, atau Utara dan Selatan. Dari segi ilmu pengetahuan, teknologi dan pandangan hidup, dunia dibagi menjadi Barat dan Timur. Barat untuk negara-negara yang maju ilmu pengetahuan dan teknologinya serta punya pandangan hidup rasional dan sekuler, Timur sebaliknya.
Sedangkan dari segi ekonomi, dunia dibagi menjadi Utara dan Selatan. Utara untuk negara-negara yang maju ekonominya, sedangkan Selatan untuk negara-negara berkembang dan terbelakang. Letak geografis sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Maroko yang terletak di Barat dimasukkan dalam kelompok Timur, sementara Jepang yang terletak di Timur dmasukkan dalam kelornpok Utara. Australia yang terletak di Selatan dimasukkan kelompok Utara. Seluruh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), termasuk Indonesia, masuk dalam kelompok negara-negara Timur dan Selatan.
Dengan kemajuan teknologi komunikasi yang demikian hebat, masing  masinganggota masyarakat dunia dapat bekerja sama, bersaing dan saling mempengaruhi dengan bebas. Sekat-sekat geografis dan jarak yang berjauhan tidak lagi menjadi hambatan. Dari segi ekonomi, setelah pasar bebas ASEAN (AFTA) kita juga menyaksikan pasar bebas Asia Pasifik (APEC) dan terakhir pasar bebas Dunia (WTO). Tetapi karena kekuatan modal, sumber daya manusia, manajemen, teknologi dan industri dikuasai oleh negara-negara Utara. Akibatnya persaingan yang terjadi persaingan yang tidak seimbang. Khusus Indonesia, jangankan untuk tingkat dunia, tingkat ASEAN pun kita kesulitan untuk memenangi persaingan.
Begitu juga dari segi budaya dan bermacam-macam ideologi, paham dan gaya hidup akan saling mempengaruhi dengan cepat, mengubah dengan cepat pula tatanan masyarakat. Sekali lagi, walaupun secara teoritis semua anggota masyarakat dunia saling mempengaruhi, karena kekuatan yang tidak seimbang, yang akan menguasai dan memaksakan pandangannya adalah negara-negara Barat.
Sebagai ilustrasi, kalau kita pergi ke Eropa atau Amerika, sudah dapat dipastikan kita tidak akan dapat menonton acara-acara televisi dari Indonesia. Tetapi sebaliknya jika kita buka stasiun TV Indonesia di mana pun, dengan mudah akan kita dapatkan acara-acara produk Barat. Khusus untuk Indonesia, tidak hanya film-film Hollywood yang mudah kita tonton, bahkan film-film Bollywood dan Amerika Latin pun tidak pernah absen muncul di TV-TV kita! Sadar atau tidak, pengaruhnya sangat besar dalam pertarungan budaya.
Pandangan dan gaya hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam akan mempengaruhi anak-anak kita, bahkan mungkin juga orang dewasa. Sebagai akibat dan pertarungan budaya yang tidak seimbang di atas, maka kita dapat menyaksikan terjadinya perubahan-perubahan alam pikiran yang cenderung pragmatis, materialis, dan hedonis, menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi yang sekuler) dalam kehidupan modern abad ke-20 yang disertai dengan gaya hidup modern memasuki era baru abad ke-21 atau abad ke-15 Hijriah sekarang ini.
Penetrasi budaya dan multikulturalisme yang dibawa oleh globalisasi akan makin nyata dalam kehidupan bangsa. Mau tidak mau, suka tidak suka, setiap negara atau bangsa akan masuk dalam arus globalisasi. Yang tidak dapat berenang akan tenggalam dalam pusaran arus yang sangat deras tersebut. Apalagi negara-negara Barat atau Utara menghendaki globalisasi tentu saja bukan tanpa kepentingan nasional masing-masing, baik ekonomi, budaya maupun ideologi atau paling kurang pandangan hidup.
Dunia Islam yang semuanya tanpa kecuali masuk Timur atau Selatan tentu saja tidak akan mampu menahan laju globalisasi itu, apalagi menghentikannya. Karena itu, globalisasi sudah merupakan realitas sejarah yang tidak dapat ditolak. Globalisasi adalah konsekuensi logis dari kemajuan teknologi komunikasi.
Globalisasi sendiri sebenarnya sejalan dengan ajaran Islam, ajaran atau agama yang diturunkan sebagai rahmat alam semesta. Jika globalisasi digunakan untuk menduniakan nilai-nilai moral islami, baik yang bersifat personal (personal morality) maupun yang publik (public morality), maka kehidupan umat manusia di dunia dapat berjalan dengan tertib, aman, damai dan sejahtera. Ringkasnya, secara normatif globalisasi sebenarnya netral, tergantung siapa dan untuk apa digunakan.
Dapatkah umat Islam memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan dakwah Islam? Mungkin banyak yang pesimis, apalagi melihat betapa tidak berdayanya umat Islam menghadapi tekanan negara-negara Barat atau Utara dalam berbagai aspek kehidupan. Invasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ke Irak adalah bukti betapa tidak berdayanya umat Islam menghadapi kekuatan negara maju, utamanya AS sebagai satu-satunya super power sekarang ini setelah Uni Soviet runtuh. Pertanyaan yang relevan dan mendesak sekarang ini adalah bukan “dapatkah umat Islam memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan dakwah” tapi “dapatkah umat Islam bertahan menghadapi serangan Globalisasi?.” Apakah umat Islam akan tenggelam atau masih mampu menggapai-gapai untuk sekedar tidak tenggelam atau memperlambat kehancurannya?.
Umat Islam memiliki potensi yang apabila dikelola dengan baik dapat membantu setidaknya pertahanan diri, syukur-syukur mempengaruhi pandangan dan gaya hidup masyarakat dunia. Kita memiliki: (1) jumlah penduduk Muslim yang besar (1,2 Milyar untuk dunia Islam, dan sekitar 200 juta untuk Indonesia); (2) sumber daya alam yang sangat menggiurkan negara-negara Barat; (3) pernah mengalami sejarah masa lalu yang gemilang (Indonesia bagian dari imperium Islam yang pernah menguasai sepertiga dunia); dan (4) ajaran Islam yang sejalan dan mendorong kemajuan dalam berbagai kehidupan serta memberi pegangan moral yang kuat. Masalahnya, jumlah penduduk dunia Islam baru besar dari segi kuantitas tapi lemah dari segi kualitas. Yang berpendidikan tinggi relatif masih kecil; Indonesia misalnya, masih di bawah 10 %.
Lemahnya kualitas sumber daya manusia itu berakibat lemahnya penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, belum lagi mental korup para penguasa dan pengelola kekayaan alam. Selain itu berakibat tidak adanya persatuan umat Islam dunia dalam arti yang sebenarnya.
Memang ada beberapa organisasi dunia Islam, baik yang bersifat resmi antar-pemerintah (seperti OKI) ataupun yang swasta (seperti Rabithah 'Alam Islami), tetapi belum efektif disebabkan berbagai kepentingan atau ego para pemimpinnya. Belum lagi pada dataran umat, banyaknya aliran teologi, mazhab fikih, organisasi massa, dan partai politik terkadang bisa menyebabkan kekuatan umat menjadi tidak ada berarti.
Umat Islam juga kerap tidak banyak belajar dari sejarah. Buku-buku sejarah Islam dipenuhi oleh kisah-kisah suksesi para penguasa, bukan kisah-kisah kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Padahal tidak jarang suksesi itu terjadi secara berdarah, yang oleh sebagian pengikut setia aliran atau kelompok tertentu luka lamanya itu dipelihara hingga sekarang bahkan diwariskan turun-temurun.
Tentu saja penyebab semua masalah di atas adalah semakin jauhnya umat Islam dari ajaran Islam. Padahal ajaran Islam dalam sejarah sudah terbukti memberikan kekuatan yang luar biasa dengan kekomprehensifan, keseimbangan, menghidupkan dan berpandangan jauh kedepannya. Bangsa Arab sebagai contoh, tanpa Islam mereka hanyalah suku-suku nomaden yang sama sekali tidak diperhitungkan dunia. Tetapi dengan Islam mereka ke luar dari jazirah Arabia mengalahkan dua imperium raksasa waktu itu (Romawi dan Persia) hingga menguasai sepertiga dunia.
Mari kita lihat sekarang, tatkala banyak negara Timur Tengah mengusung ideologi arabisme dan sosialisme atau sekulerisme dengan meninggalkan Islam, mereka menjadi bulan-bulanan Amerika dan sekutunya tanpa dapat berbuat apa-apa. Sejarah Turki juga dapat menjadi pelajaran bagi kita, bahwa tanpa Islam, Turki hanyalah sebuah negara berkembang yang banyak utang dengan laju inflasi yang sangat tinggi pula.
Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di atas, dan mengatasi kelemahan-kelemahan yang dihadapi dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi, salah satu alternatifnya adalah menguatkan dakwah Islam baik dari segi materi, pesan yang disampaikan maupun dari segi motode yang digunakan.
Dakwah Islam tidak boleh hanya menyentuh kulit-kulit ajaran Islam semata, tetapi juga masuk ke inti dan esensi ajarannya. Karena ajaran Islam bersifat komprehensif, maka dakwah Islam pun haruslah bersifat komprehensif. Pemahaman dan penerapan Islam secara parsial menyebabkan kekuatan agama ini tidak kelihatan bahkan tidak efektif. Untuk ini, metode dakwah harus diperbarui agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi harus dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dakwah tidak hanya terbatas menggunakan media tradisional (mimbar) tapi juga menggunakan multimedia. Begitu juga jaringan dakwah harus diperkuat, kerja sama antar lembaga dakwah dunia harus ditingkatkan. Perbedaan-perbedaan aliran, mazhab atau pendekatan dakwah harus disikapi secara bijak. Lakukanlah kerja sama dalam hal-hal yang disepakati, bertoleransilah dalam hal-hal yang berbeda pendapat! Selain itu pendidikan tidak boleh diabaikan. Ini adalah aspek paling penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Umat Islam harus dapat memadukan dua sumber ilmu yang dua-duanya berasal dan Allah: ilmu-ilmu kewahyuan dan ilmu-ilmu kealaman. Khazanah Islam digali, kemajuan ilmu pengetahuan Barat dimanfaatkan. Sistem pendidikan diperbarui dan disempurnakan.
Disamping problem di atas yang tak kala pentingnya ialah peran media, sebagai suatu contoh ratio perbandingan masyarakat yang membaca Koran ternyata lebih rendah daripada menonton televise atau internet Di samping itu serbuan serbuan informasi dari berbagai media massa ternyata melebihi kapasitas ingatan manusia sehingga khalayak terbebani. Asumsi ini tidak berlebihan sebagaimana ditulis oleh Neuman, bahwa setiap hari televisi memperlihatkan 3.600 image permenit, radio rata menyiarkan kata-kata 100 kata permenit, dan internet menyajikan rata-rata 150.000 perhari.[31]   
Pada saat televise mengangkat realitas sosial dalam berbagai film (sinetron)  dan telenovela maka kekuatan televis dan kekuatan masyarakat terakumulasi ke dalam pengaruh yang luar biasa terhadap media telvisi itu sendiri. Hal ini terlihat dengan begitu besar kegemaran masyarakat terhadap media televisi serta secara fungsional televisi telah terstuktur dalam masyarakat.[32]      
Konvergensi perusahaan media juga melahirkan grup media yang dapat memanfaatkan penyebaran berita dalam membentuk opini untuk disebarkan ke berbagai jenis media yang berbeda di bawah naungan grupnya. Sebuah grup MNC di bidang media seperti CNN yang sering jadi rujukan media masa dunia, atau MNC di Indonesia, misalnya, yang menaungi beberapa media TV, radio, surat kabar, internet dll. Sehingga  melalui media massa dapat membentuk realitas kehidupan masyarakat sejalan dengan kapitalis neo liberalism. Di era globaisasi saat ini media massa mempunyai peranan penting dalam membentuk pola hidup masyarakat. Media massa berlomba-lomba menyuguhkan acara atau pemberitaan tertentu yang dapat menarik minat khalayak, sesuai dengan fungsi media massa sebagai media informasi, media pendidikan dan hiburan. Bahkan dewasa ini media massa dikategorikan sebagai The Third Power (kekuatan atau kekuasaan ke tiga) setelah money (uang) dan power (kekuasaan) itu sendiri.
Dengan demikian para penguasa ekonomi (baca konglomerat) dan penguasa negara berlomba-lomba untuk mendirikan media atau membeli perusahaan media yang ada. Pencitraan (image) telah menjadi mode bagi kalangan politisi dewasa ini, lihat dalam kampanye calon legislatif dan calon presiden telah memanfaatkan media massa dalam kampanye mereka. Shirly Biagy menyatakan bahwa dana kampanye banyak dihabiskan melalui media massa terutama televisi.
Disengaja atau tidak arus informasi internasional yang dikuasai oleh kecanggihan teknologi komunikasi kini kelihatan didukung oleh konsep kebebasan informasi menurut pandangan barat (filsafat liberalism).[33]
Perkembangan teknologi komunikasi juga mengakibatkan perubahan institusi seperti perubahan lembaga-lembaga pendidikan, munculnya system pendidikan Jarak Jauh atau terbuka, e-learning, distance and open learning dll. Dalam bidang ekonomi dan perdagangangan, dengan munculnya e- Banking, e-comers, e-money, dan resesvasi tiket pesawat dan hotel melalui internet. Dalam bidang dakwah sudah muncul cyber dakwah, dakwah on line, situs I Love Islam, dan life style.  Konsekuensi dari semua itu media massa yang dulunya adalah lembaga social sekarang berkembang menjadi institusi industri yang umumnya  berorientasi  kepada profit.
Media massa dengan kecanggihan teknologinya saat ini lebih memudahkan proses penyebaran dakwah. Paul Lazarsfeld dan Robert K Merton juga melihat media dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan.[34]     
Sejalan dengan itu harus dipahami manfaat dan mudharat teknologi informasi dan komunikasi, serta secara sadar memanfaatkannya untuk mencapai tujuan kita, bukan tujuan-tujuan  mereka (pembuat dan pencipta teknologi) . Artinya kita sebagai pengguna informasi baik sebagai subjek atau pun objek jangan sampai terjebak  dengan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dabalik kecanggihan media tersebut.
Dengan demikian tantangan para da’i untuk berdakwah  semakin tinggi, disaat akses terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan  komunikasi semakin terbuka akan tetapi dilain pihak profesionalisme lembaga dakwah dan para dai dituntut lebih baik, serta tantangan yang paling berat adalah dikala memanfaatkan media yang yang sudah menjadi industry yang profitable untuk tujuan dakwah, dibalik pesan-pesan yang disampaikan. Sebab  pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin diabaikan.
Disinilah titik perjuangan atau jihad di bidang dakwah oleh para da’i atau lembaga dakwah, dimana kalau dulu bangsa-bangsa  berjuang menguasai wilayah atau berjuang untuk kemerdekaan wilayahnya, sekarang orang mulai berjuang dibidang baru yaitu informasi  agar tidak dikendalikan oleh yang menguasai informasi.[35]    
Dalam rangka membebaskan umat dari sifat-sifat kejahiliahan modern dengan pendekatan bil hikmah.  Menurut Enjang yang mengutib dari pandangan Sayid Quthub bahwa dakwah dengan metode hikmah akan terwujud apabila memperhatikan tiga faktor. Pertama, keadaan dan situasi orang-orang yang didakwahi. Kedua, ada atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar mereka tidak merasa keberatan dengan beban materi tersebut. Ketiga, metode penyampaian materi dakwah dengan membuat variasi sedemikian rupa yang sesuai dengan kondisi pada saat itu.[36]     
Pada akhir abad ke-20an di dunia muslim lahir sebuah kesadaran untuk membangun paradigma baru yang diharapkan dapat memberikan keseimbangan (sintesis) antara paradidigma Timur dan Barat, dan sekaligus dapat menjadi paradigma alternative yang dapat menyembatani perbedaan yang cukup controversial antara paradigma  timur yang disebut-sebut sebagai paradigma yang bersifat mistis, religious, serta alamiah dengan paradigma Barat yang bersifat positivistik, mekanistik, dan ilmiah. Di mana keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.[37]   
Memahami paradigma dan komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung dan akhirnya dapat diketahui apa yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.[38] 
Merubah paradigma berpikir dan budaya kerja adalah langkah strategis yang harus dimulai sekarang ini juga tanpa menunda sedetik pun, yaitu agar  berorientasi kepada sasaran khalayak dan ummat dengan pendekatan “bil hikmah wal mauidzah al-hasanah” dan dengan pemanfaatan media. Langkah strategis tersebut harus di imbangi dengan sumber daya yang berkualitas yang akan menjadi juru dakwah behind the media, behind the technology, behind the screen dan on the screen. Tujuannya adalah menyadarkan kaum muslimin, mendidik jiwa mereka dan membekalinya dengan ketakwaan yang cukup untuk memperlihatkan kepadanya keharusan menyatukan barisan.[39] 
Seperti media internet yang akhir-akhir ini perkembangannya sangat fenomenal memiliki pengaruh langsung yang sangat kuat kepada pembacanya. Internet mampu menggerakkan prilaku massa sesuai dengan arah yang dikehendakinya. Kenyataanya massa tidak memiliki daya apa-apa, sehingga karena kehalustajamannya itu, Jalaluddian Rakhmat melukiskannya, ibarat seorang pasien yang tidak berdaya apa-apa setelah dimasuki sejenis serum melalui jarum kecil dalam tubuh.[40]      
Fenomena tersebut dapat kita amati dengan terbentuknya  keluarga-keluarga besar elektronik bersatu dalam jaringan sosial dan dalam jaringan kerja yang lebih besar. Jaringan-jaringan  tersebut akan memberikan jasa pelayan sosial atau bisnis yang diperlukan melalui asosiasi-asosiasi.[41]     
Jaringan sosial di dunia maya tersebut sangat berpotensial untuk dimanfaatkan sebagai sarana dakwah. Tentu saja kita tidak boleh melupakan  dan mengabaikan tenaga-tenaga yang akan mengisi aktifitas dakwah di mesjid-mesjid dan majelis taklim. Wallahu a’lam bissawab.


Daftar Pustaka

1.         Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, Jakarta Timur,2001
2.         Prof. A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Yogyakarta, 2003
3.         Altaf Gauhar, Tantangan Islam, Bandung 1982
4.         Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, 2008
5.         Faizah dan Lalu Muchsin Efendi, Psikologi dakwah, Jakara Kencana, 2009
6.         http://id.wikipedia.org/wiki/Dakwah, 30 Juni 2010
7.         Aep Kusnawan, M.Ag, dkk, Dimensi Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung
2009.
8.         Fathul Wahid, e-Dakwah : Dakwah Melalui Internet, Gava Media, Yogyakarta, 2004.
9.         Joseph Straubhaar, Robert La Rose, Media Now, Communications Media in the Information Age, United States of America, Wadsworth Group.
10.      Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa, Sebuah Analisis Media Televisi, Jakarta,
PT RinekaCipta, 1996.
11.      Mufid, Muhammad, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran,  Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
12.       Yenne, Bill, Seri Sekilas Mengetahui, 100 Peristiwa yang Berpengaruh Di Dalam Sejarah Dunia.
13.      Sutanta, Edhy, Komunikasi Data & Jaringan Komputer, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005.
14     Sadiman, Arief  S, Dr. dan Drs. Zamris Habib, MSi, Penerapan Teknologi Pendidikan memasuki Milenium III pada Sektor Pendidikan Sekolah dan Luar Sekolah, dalam Jurnal Teknodik, no. 8/IV/Teknodik/Mei/2000, Pustekkom, Jakarta.
15     Russel, W, Neuman, et. Al, Common Knowledge, News an the Communication of Political Meaning, The University of Chicago Press, Chicago, 1992.
16     Burhan Bungin, M. Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakata, 2004, 48.
17     Biagy, Shirly, Media Impact n Introduction to Mass Media, Wadswoth Publishing
Compny, Belmont, California, 1995.
18     Muis, A. Komunikasi Islami, PT Remaja Karya, Bandung, 2001, hal 19.
19     Wiliam, L. Rivers, dan W. Jensen, Jay, Media Massa dan Masyarakat Modern, Terjemahan, Prenada Grup, Jakarta, 2008.
20     Sardar,  Ziauddin, Information and Muslim World : A Strategy for 21’st Century, 1988/Tantangan Dunia Islam Abad 21, Mizan. Bandung, 1988.
21     Mulyana, Dedy, Komunikasi Antar Budaya, Roda Jaya, Bandung 2005.
22     Ar-Rasyid, Ahmad Muhammad, Khittah Dakwah, Robbani Press, Jakarta, 2005
Rakmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 1988.
23.       Enjang As, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Pendekatan Filosofis dan Praktis, Widya
Padjadjaran,  Bandung, 2009,
24.       Enjang As, Dimensi Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009.



[1] .             Menurut Qaradhawi, Globalisasi adalah penjajahan lama yang tampil dalam busana dan nama  baru. Lihat Qaradhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (Jakarta Timur, CV. Pustaka Al-Kautsar : 2001), cet ke-1, h. 31. Menurutnya, globalisasi memiliki makna yang sangat berdekatan dengan Al-Alamiyah yang di bawah oleh Islam. Namun ada perbedaan yang yang cukup mendasar antara makna yang Alamiyah yang di bawah oleh Islam dengan yang di serukan oleh barat pada umunya, khususnya Amerika. Alamiyah yang di bawah oleh Islam datang untuk menghormati umat manusia (QS. Al-Isra’ : 70). Ibid.,h. 25. Berbeda dengan globalisasi (‘aulamah) yang di kampanyekan oleh dunia barat yang merupakan keharusan pengawasan di bidang politik, ekonomi, budaya, dan social. Ibid., h. 27.
Menurut Qodri Azizy, bahwa era globalisasi adalah terjadinya pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia  yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi, dan informasi hasil modernisasi tersebut. Lihat A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h. 20
[2] .             A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h. 1
[3] .             Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta : PT Raja grafindo Persada, 2008), h. 191
[4] .             Ibid
[5] .             Ibid., h. 175-176
[6] .             Ibid., h. 169
[7] .            Fathul Wahid, e-Dakwah : Dakwah Melalui Internet, Gava Media, Yogyakarta, 24, hal.25.
[8] .             Qaradhawi membagi globalisasi dalam empat bentuk, yaitu Globalisasi Politik, Globalisasi
Ekonomi, Globalisasi Kebudayaan, Globalisasi Agama, Lihat Qaradhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (Jakarta Timur, CV. Pustaka Al-Kautsar : 2001), cet ke-1,  h. 35-89
[9] .             Liasta Ginting, makalah ancaman globalisasi dan regionalisasi, Universitas Sumatra Utara
Medan, 2005, h. 5
[10] .           Peper pengantar untuk seminar, Lumpuhnya Sistem Keadilan : Tantangan Penegakkan Hak-hak
Azazi Manusia  dan Peran Advokat Untuk Kepentingan Publik, yang di selenggarakan oeh Elsam Sawith Wach, HUMA, 3-5 Aug 2010, Jakarta.
[11] .           Ibid
[12] .           Subhihar dan Indra Kesuma Nasution adalah Dosen FISIP-USU, dalam tulisannya yang berjudul Dinia Islam di Tengah Globalisasi, h. 36-37
[13] .           Ibid
[14] .           Ibid
[15] .           Ibid
[16] .           Ibid
[17] .           Qaradhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (Jakarta Timur, CV. Pustaka Al-Kautsar : 2001), cet ke-1, 
h. 35-38
[18] .           Menurut A. Qodri Azizy Ada dua pengaruh psikologis yang di munculkan oleh AFTA (ASEAN  Free Trade Agrement) atau perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN ini, yaitu dampak yang bersifat positif dan dampak yang bersifat negatif. Uraian selengkapnya baca A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h. 59-60
[19] .           Ibid., Bandingkan dengan Qaradhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (Jakarta Timur, CV. Pustaka Al-Kautsar : 2001), cet ke-1,   h. 39-54
[20] .          Uraian lengkapnya silahkan baca tulisan Bonnie Setiawan yang berjudul : AT THE  END OF GLOBALISATION, WE ARE ALL DEAD. Tulisan ini judulnya berbahasa inggris tapi urainnya dalam bahasa Indonesia. Beliau adalah Direktur Eksekutif di Institute for Global Justice (IGJ) di Jakarta (www.globaljust.org, igj@globaljust.org ), sebuah NGO yang melakukan advokasi isu-isu WTO dan Globalisasi.  
[21] .           Uraian selengkapnya baca A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi,  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h. 55-69 dan bandingkan dengan uraian yang di paparkan oleh Subhihar dan Indra Kesuma Nasution Dosen FISIP-USU, dalam tulisannya yang berjudul Dunia Islam di Tengah Globalisasi, serta Peper pengantar untuk seminar, Lumpuhnya Sistem Keadilan : Tantangan Penegakkan Hak-hak Azazi Manusia  dan Peran Advokat Untuk Kepentingan Publik, yang di selenggarakan oeh Elsam Sawith Wach, HUMA, 3-5 Aug 2010, Jakarta.
[22] .           Ibid
[23] .           Lebih lengkapnya baca tulisan Sity Daud. PhD, yang berjudul Globalisasi dan Negara  Pembangunan, Pusat Pengajian Sejarah Politik dan strategi, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universitas Kebangsaan Malaysia, akademik 64 Januari 2004. Bandingkan dengan Bandingkan dengan Qaradhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (Jakarta Timur, CV. Pustaka Al-Kautsar : 2001), cet ke-1,   h. 39-40
[24] .           Ibid
[25] .           M. Tata Taufik, Dakwah Era Global, kuningan, senin 27 Januari 2003. (Percetakan tidak tertera), h. 92
[26] .           Ibid
[27] .           Qaradhawi mengatakan bahwa kebudayaan global adalah kebudayaan yang menyuruh kita menjadi budak yang tidak punya harga diri.  Menjadi orang-orang yang patuh dan mau di setir oleh Israel-Amerika atau Amerika-Israel. Suatu sikap yang bertahun-tahun kita tolak dan kita anggap sebagai suatu sikap penghinatan dan kemungkaran bahkan sesuatu kekufuran yang nyata. Kebudayaan global adalah kebudayaan yang menyuruh kita  agar kita mengakui eksistensi Israel pada hal ia adlah musuh dan perampas bumi kita. Kebudayaan global menginginkan agar kita memberikan kepadanya pengakuan resmi bahwa semua yang telah rampasnya adalah miliknya dan bahwa ia punya wewenang untuk mengingatkan setiap Negara arab yang menolaknya. Qaradhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (Jakarta Timur, CV. Pustaka Al-Kautsar : 2001), cet ke-1,   h. 57
[28] .           A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h. 3
[29] .           Tapi menurut Qaradhawi, kita tidak akan mungkin mampu melawan arus globalisasi ekonomi  manakala kita tidak sanggup menentang arus globalisasi kebudayaan yang begitu besar yang menghantam setiap penghalang. Kita akan mampu menentangnya hanya dengan iman, akhlak, dan syari;at kita. Qaradhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (Jakarta Timur, CV. Pustaka Al-Kautsar : 2001), cet ke-1,   h. 63
[30] .           Untuk lebih jelasnya silahkan baca Peper pengantar untuk seminar, Lumpuhnya Sistem Keadilan : Tantangan Penegakkan Hak-hak Azazi Manusia  dan Peran Advokat Untuk Kepentingan Publik, yang di selenggarakan oeh Elsam Sawith Wach, HUMA, 3-5 Aug 2010, Jakarta.
[31] .          Russel, W, Neuman,, et.al, Common Knowledge, News an the Communication of Political Meaning, The University of Chicago Press, Chicago, 1992, hal. 90.
[32] .          Burhan Bungin, M. Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakata, 2004, 48.

[33] .          Muis, A. Komunikasi Islami, PT Remaja Karya, Bandung, 2001, hal.
19.

[34] .          L. Rivers, Wiliam dan W. Jensen, Jay, Media Massa dan Masyarakat Modern, Terjemahan, Prenada Grup, Jakarta, 2008, hal. 35.
[35] .          Ziauddin Sardar, Information and Muslim World : A Strategy for 21’st Century, 1988/Tantangan Dunia Islam Abad 21, Mizan. Bnadung, 1988.
[36] .          Enjang As, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Pendekatan Filosofis danPraktis, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hal. 89.
[37] .          Enjang As, dalam Dimensi Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hal. 85.
[38] .          Mulyana, dedy, Komunikasi Antar Budaya, Roda Jaya, Bandung 2005, ha. 12.
[39] .          Ar-Rasyid, Ahmad Muhammad, Khittah Dakwah, Robbani Press, Jakarta, 2005, hal. 337.
[40] .           Rakmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 1988, hal.88
[41] .          Alvin Toffler, The Third Wave, Panca Simpati, Jakarta, 1973

1 komentar: