Translete This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 20 Mei 2011

ALKOHOL DALAM KAJIAN FIQH



 Oleh : Dr. Ahmad Munif Suratmaputra, MA

PENDAHULUAN
               Dalam Islam, akal merupakan salah satu ad-Daruriyyat al-Khams (lima pilar pokok yang menjadi sendi tegaknya hidup dan kehidupan manusia) yang wajib dipelihara agar tetap berfungsi dengan baik. Dengan akal yang sehat manusia bukan saja dapat memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan hidupnya serta dibedakan dari jenis hewan yang lain, akan tetapi berdasarkan akal itu pula manusia menerima pen-taklif-an (pembebanan hukum) atau dipandang mukallaf (layak menerima pembebanan hukum). Akal inilah yang meletakkan manusia pada posisi yang paling terhormat di tengah-tengah sekian makhluq Allah yang lain.   
       Dalam upaya memelihara akal, Islam antara lain  mempersilahkan manusia mempergunakan dan mengonsumsi  hal-hal yang halal dan baik (Halalan Thayyiba), tidak boleh berlebih-lebihan, dan secara bersamaan melarang hal-hal yang dapat membahayakan dan merusak akal. Inilah antara lain filosofisnya kenapa Islam melarang manusia mengonsumsi minuman keras dan semua hal yang dapat merusak jaringan dan saraf otak.  Sebab, bila akal manusia telah rusak maka dampak negatifnya (malapetakanya) bukan saja bersifat individual atau lokal, tetapi akan menembus seluruh sendi-sendi kehidupan umat manusia secara total dan menggelobal.
       Memang, dalam kajian filfasat hukum Islam ditegaskan bahwa  tujuan pokok pensyari'atan/penetapan hukum Islam  adalah untuk  mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan bagi hidup dan kehidupan umat manusia (Jalb al-Mashalih wa-Daf' al-Madhar/al-Mafasid). Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa prinsip ini telah menjadi konsensus para pakar hukum Islam berdasarkan Istiqra'. Atas dasar ini maka muncullah prinsip:
اينما كا نت المصلحة فثم حكم الله
              "Dimana ada maslahat, di sanalah hukum Allah"
      Dari sini pula kita paham betul bahwa semua yang diwajibkan dan dihalalkan oleh Islam pasti akan mendatangkan manfaat dan kemaslahatan apabila dipatuhinya. Dan kebalikannya semua yang diharamkan pasti akan membawa mudlarat dan menimbulkan mafsadat/bencana apabila dilanggar. Dari sinilah nampak bentul kasih sayang Allah SWT terhadap hamba-Nya. Hamba-Nya benar-benar diarahakan untuk menuju jalan yang dapat mengantarkannya meraih hasanah/kebaikan di dunia dan akhirat...

MINUMAN YANG MEMABUKKAN
               Dalam buku-buku Fiqh klasik tidak ditemukan secara harfiah kata alkohol. Oleh karena alkohol merupakan senyawa atau zat cair yang memabukkan maka kajian tentang masalah ini akan mengacu kepada masalah minuman yang memabukan. Berdasarkan penelitian para Fuqaha', minuman yang memabukkan dapat diklasikasikan menjadi dua macam. Petama, khamr dan kedua, muskir/nabiz. Khamr adalah minuman memabukkan yang dibuat dari perasan anggur. Sedangkan muskir/nabiz adalah minuman memabukkan yang dibuat dari bahan-bahan selain anggur.
      Tentang khamr, Fuqaha' telah konsensus bahwa hukumnya haram bedasrkan Al-Qur'an, Sunnah/Hadis, dan Ijma'. Zatnya  dihukumi najis, peminumnya - walaupun tidak sampai kadar memabukkan - dikenakan sanksi had asy-Syurb (hukuman karena meminum minuman keras). Ia didera empat puluh kali menurut mazhab Syafi'i dan delapan puluh kali menurut Jumhur (mayoritas Fuqaha'). Ulama juga telah konsensus bahwa orang yang menghalalkan khamr dipandang kafir/murtad (keluar dari Islam).
       Mengenai muskir/nabiz pada batas memabukkan, ulama juga telah konsensus bahwa hukum meminumnya haram. Hanya saja mereka berbeda pendapat apakah hukum haram muskir/nabiz tersebut berdasrkan nash ataukah ijtihad (Manshush ataukah Gahiru Manshush)? Fuqaha' Hijaz memandang bahwa hukum haramnya muskir/nabiz adalah berdasarkan nash, yang oleh karenanya hukum haramnya adalah qath'iy, atas dasar pandangan bahwa tiap-tiap minuman yang memabukan adalah khamr. Bedasrkan alur pemikiran ini maka muskir/nabiz hukumnya persis sama dengan khamr baik menghenai najsinya, haramnya meminum, maupun sanksi hukumnya/hadnya.
            Berbeda dengan Fuqaha Hijaz, Fuqaha' Kufah berpendapat bahwa hukum haram muskir/nabiz tersebut adalah ijtihadi/berdasarkan ijtihad. Dengan demikian maka status hukum haramnya adalah Dhanni. Atas dasar pemikiran ini maka di antara mereka ada yang berpendapat bahwa muskir/nabiz itu tidak najis dan bagi peminumnya tidak dapat dikenakan hukuman had. Sebagian yang lain berpendapat bahwa zatnya tidak najis, tetapi peminumnya tetap dikenakan had.  

 KADAR YANG TIDAK MEMABUKKAN
           Nah, sekarang bagaimanakah hukum meminum muskir/nabiz dalam batas tidak memabukkan? Apakah hukumnya sama dengan meminum muskir/nabiz dalam batas memabukkan? Dalam menanggapi masalah ini, Fuqaha' berbeda pendapat atas dua golongan. Fuqaha' Hijaz berpendapat bahwa meminum muskir/nabiz dalam batas tidak memabukkan hukumnya sama dengan meminum muskir/nabiz dalam batas memabukkan, yakni haram. Sebab, bagaimanapun ia tetap termasuk kategori khamr yang diharamkan itu.
       Sementara itu Fuqaha' Kufah berpendirian bahwa meminum muskir/nabiz dalam batas tidak memabukkan hukumnya halal/mubah, karena padanya tidak terdapat 'illat haram, yaitu memabukkan/iskar sejalan dengan kaidah hukum yang menyatakan:    
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
          "Hukum itu beredar sesuai dengan 'illatnya mengenai ada atau tidak adanya (Ada 'illat ada hukum, dan bila 'illat tidak ada maka  hukum pun tidak ada pula".

ARGUMENTASI MASING-MASING           
       Fuqaha' Hijaz yang berpendirian bahwa muskir/nabiz dalam kadar tidak memabukkan hukumnya haram mengajukan argumentasi sbb:
       1. Al-Qur'an surat an-Nahl ayat 67:
ومن ثمرت النخيل والاعنب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا
       "Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat sakar dan rizki yang baik."
        Kata sakar dalam ayat ini diartikan khamr, di mana ayat ini diturunkan di Makkah pada saat khamr belum diharamkan. Ayat ini kemudian dinasakh/diralat oleh ayat 90 al-Maidah yang mengharamkan khamr.
       2. Hadis Nabi riwayat Turmuzi, Abu Daud dan Nasai:
ما اسكر كثيره فقليله حرام
        "Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikit dari nya juga haram"
        3. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Ibn Umar:
كل مسكر خمروكل خمر حرام
         "Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamr, dan tiap-tiap
           khamr adalah haram".
     Sementara itu argumentasi Fuqaha' Kufah yang berpendapat bahwa muskir/nabiz pada kadar tidak memabukkan hukumnya mubah/halal adalah sbb:
     1. Al-Qur'an Surat an-Nahl ayat 67:
       ومن ثمرت النخيل والاعنب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا
   "Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat sakar dan rizki yang baik."
     Menurut mereka, sakar dalam ayat ini artinya muskir/nabiz dalam batas tidak memabukkan. Sebab dalam ayat itu disebutkan sebagai nikmat dari buah-buahan yang Allah tumbuhkan untuk umat manusia.
       Golongan ini tidak dapat menerima kata sakar pada ayat 67 an-Nahl tersebut diartikan khamr, karena hal itu akan bertentangan dengan ayat 90 al-Maidah yang mengharamkan khamar. Ayat 67 an-Nahl adalah Khabariyah/informatif. Berdasarkan kaidah yang disepakati ayat semacam itu tidak menerima nasakh (muhkam). Sedangkan ayat 90 al-Maidah adalah ayat hukum yang berfungsi insyaiyah (larangan).
        2. Hadis Nabi riwayat Abu 'Aun ats-Tsaqafi:
حرمت الخمر لعينها والسكر لغيرها
        "Khamr itu diharamkan karena zatnya, dan muskir/nabiz itu diharamkan bukan karena zatnya."
              Mengenai Hadis Turmuzi, Abu Daud dan Nasai yang artinya "Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikit darinya juga  haram" yang dijadikan alasan Fuqaha' Hijaz dipandang lemah oleh Fuqaha' Kufah yang karenanya tidak dapat dijadikan hujjah.
           Sedangkan Hadis Muslim yang artinya "Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamr dan tiap-tiap khamr adalah haram" yang dijadikan alasan oleh Fuqaha' Hijaz, menurut Fuqaha' Kufah, muskir di sini diartikan "pada kadar yang memabukan" bukan "kadar yang tidak memabukkan". Oleh karenanya yang tidak memabukkan namanya bukanlah khamr.
            Dengan demikian tentang hukum minuman yang dibuat dari selain anggur (muskir/nabiz) dalam batas/kadar tidak memabukkan terjadi perbedaan pendapat di kalangan Fuqaha'. Fuqaha' Hijaz memandang haram, sedangkan Fuqaha' Kufah memandang halal/mubah. Kemudian perlu juga ditegaskan di sini bahwa  Fuqaha' Kufah yang menyatakan bahwa haramnya muskir/nabiz dalam kadar memabukkan itu Ijtihadi,  ada yang berpendapat bahwa zatnya hukumnya najis dan ada pula yang berpendapat bahwa hal itu suci. Adanya khilaf ini harus diakui sejalan dengan kaidah Al-Ijtihad La Yunqadlu bil-Ijtihad (Ijtihad tidak dapat digugurkan oleh Ijtihad).
ALKOHOL DALAM ANALISIS         
           Dalam buku-buku Ensiklopedi disebutkan bahwa alkhol adalah senyawa atau zat cair yang memabukkan. Kegunaan alkohol disamping untuk campuran minuman beralkohol, digunakan pula untuk bahan baku senyawa kimia yang lain, pelarut zat pewarna, bahan bakar, hal-hal yang berkaitan dengan medis,  pengobatan, dll.
          Oleh karena itu, menurut hemat penulis untuk menentukan status hukumnya perlu dilihat kadar dan keperluan penggunaannya dengan melakukan metode TAKHRIJ terhadap status hukum muskir/nabiz sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam hal ini kita dapat mengikuti pandangan sebagian Fuqaha' Kufah yang menyatakan bahwa muskir/nabiz tidak najis. Kita juga dapat mengikuti pendapat Fuqaha' Kufah yang menyatakan bahwa muskir/nabiz dalam batas tidak memabukkan adalah halal/mubah.     
        Atas dasar ini semua kita dapat mengkonsumsi minuman beralkohol dalam batas tidak memabukkan, seperti Green Sands misalnya (Konon campran alkoholnya cuma satu persen). Demikian juga kita dapat membenarkan penggunaan alkohol untuk alat-alat kosmetika, zat pengawet, obat-obatan, dll.
          Sebaliknya, secara tegas kita tidak dapat membenarkan penggunaan alkohol untuk minuman keras dan hal-hal lain yang membahayakan atau merusak fisik atau mental umat manusia. Penggunaan alkohol semacam itu jelas haram dan musti dihindarkan.  

PENUTUP
            Imam Abd al-Wahhab asy-Sya'rani dalam al-Mizan al-Kubra menyatakan bahwa adanya perbedaan pandangan di kalangan Fuqaha' itu berkisar antara dua prinsip, yaitu musyaddad/berat dan mukhaffaf/ringan. Pendapat yang berat untuk konsumsi khawas dan pendapat yang ringan untuk konsumsi awam. Hal ini nampaknya amat dihayati oleh tokoh reformasi Fiqh Imam Agung Abu Hanifah ra. Beliau mengatakan:
 لواعطيت الدنيا بحذافيرها لاافتي بحرمته لان فيه تفسيق بعض الصحابة ولواعطيت الدنيا بحذافيرها لشربها لا اشربها لأ نه لا ضرورة فيه 
        "Seandainya aku diberi dunia dengan segala isinya aku tidak akan menfatwakan haramnya nabiz, karena hal itu akan membawa dampak terhadap penilaian fasik bagi sebagian sahabat. Dan seandainya aku diberi dunia dengan segala isinya agar aku meminumnya, niscaya aku tidak akan meminumnya, sebab aku tidak membutuhkannya." (Radd al-Mukhtar, VI:453). Wallahu A'lam...











 
*) Dismapikan pada Diklat Auditor
     LPPOM MUI Juli di Puncak 1999



Tidak ada komentar:

Posting Komentar