Translete This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 19 Mei 2011

DAKWAH DAN SISI-SISINYA 1



Oleh : Maulana Abdul Hamid, MA


A.        Pendahuluan
Seiring dengan maju pesatnya sains dan teknologi, problematika dakwah Islam di Indonesia semakin kompleks. Baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya. Bahkan di bidang keagamaan sendiri, sebagai salah satu efek kemajuan yang ada, juga mengalami problem yang tidak ringan.
Pada konteks ini, sifat urban umat Islam Indonesia juga perlu dipertimbangkan. Ketika corak masyarakat Indonesia semakin mengarah menjadai masyarakat yang lebih bercorak “urban”. Masyarakat Indonesia tidak lagi tersekat pada pola permanent pedesaan-perkotaan. Semakin majunya teknologi dan sains, demikian pula sebagai akibat merambahnya fasilitas sains dan teknologi sampai ke pedesaan (internet, TV, telphon seluler), akan mengantarkan masyarakat "pedesaan" menjadi masyarakat bercorak perkotaan tanpa harus berhijrah menjadi orang kota.
Sebagian problem dakwah yang kini mencuat antara lain sikap-sikap keagamaan yang ekstrim, yang kemudian memancing perbuatan terror keagamaan, sebagai bentuk kesalahpahaman memahami norma-norma keagamaan. Aksi terorisme, yang di Indonesia menjadi problem serius, baik bagi aksi keagamaan maupun dalam kiprahnya pada proses globalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia terkesan memang belum siap menghadapai era globalisasi.
Pada sisi lain, format dakwah yang sering dilakukan masih bersifat temporal dan insidentil. Proses dakwah belum mengarah pada muara pencerdasan kurikulum dan program dakwah yang terarah dan sistematis, dikelola secara organisasional dan didasarkan kepada kebutuhan masyarakat yang berbasis tingkat kemampuan mempersepsi keagamaan (tingkat pendidikan, sosial, ekonomi, dan akses budaya).
Berbagai wacana Ickalitas dan partikularitas masyarakat Islam menjadai aspek yang harus diperhatikan untuk menyelesaikan problematika dakwah yang muncul. Dalam hal ini posisi ulama dan para aktivis dakwah menjadai garda depan bagi upaya pencerahan dakwah. Sehingga potensi-potensi lokalitas justru mampu diberdayakan sebagai strategi dalam penyampaian dakwah bagi masyarakat modern di Indonesia, di samping upaya rekonstruksi strategi dakwah bagi masa depan dunia secara global.
Oleh karenanya, penulis mencoba menguak dakwah secara teoritis dan histories penomenologis atas dakwah yang dikaitkan dengan aktualisasinya dalam upaya mencari dan memberikan solusi-solusi atas problematika dakwah dewasa ini. Tentu rulisan ini masih bersifat “premature” karena semua permasalahan yang dikaji masih harus terns didiskusikan dan dimatangkan.

B.            Ilmu Dakwah Dan Perkembangan Historisnya
Perkembangan pemikiran dakwah perlu dikemukakan terlebih dahulu, karena hal ini memiliki pengaruh yang besar terhadap proses terbentuknya Ilmu Dakwah. Di samping itu agar nantinya tampak jelas perbedaan antara pemikiran dakwah dengan Ilmu Dakwah.
Sejarah perkembangan pemikiran dalam dakwah Islam (yang bersifat falsafi), sebagaimana diungkap oleh Syukriadi Sambas, dapat dikategorikan menjadi beberapa periode, yakni: periode nubuwat, khulafa al-Rasyidin, tabi'in, tabi'al-tabi'in, tabi'al-tabi'al-tabiin, dan modern.[1]
Periode pertama adalah periode nubuwat, di mana semua Nabi memang mengemban tugas memanggil, menyeru, dan mengajak manusia kepada agama Allah Swt. pada periode ini, materi seraan (maddah al-da'wah) menyangkut tauhidullah yang menyebabkan manusia memiliki fungsi ganda; khalifatullah dan 'abidullah. Selain itu juga pesan utama tentang perjalanan hidup manusia; al-mabda' (asal kehadiran manusia), al-wasath (keadaan manusia di alam kesadaran duniawi), dan al-ma'ad (tempat kembali mempertanggungjawabkan tugas kefitriannya).
Selama periode nubuwat, persoalan hermeneutika[2] menjadi menu bagi proses dakwah sebagai cikal bakal filsafat Yunani di kemudian hari.[3] Model hermeneutika dan nalar filosofis inilah yang sedikit banyak juga terwariskan dalam risalah Islam oleh Nabi Muhammad Saw.[4] Metode hermeunetika biasanya digunakan oleh seorang peneliti yang ingin memahami agama melalui interpretasi.[5] Metode ini menempatkan konsep teks dalam kedudukan sentral. Teks-teks yang akan ditelaah, diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri, dilepaskan dari pengarangnya, waktu penciptaannya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu diciptakannya.
Periode kedua, khulafa' al-rasyidin. Kesinambungan aktivitas dakwah mulai merambah ke persoalan teoritika keihnuan pada masa kini. Pemikiran dakwah yang berkembang pada periode ini adalah metode al-naql dan al-'aql secara seimbang yang diorientasikan kepada gerakan futuhat (penaklukan) di semenanjung Arabia. Pada masa ini, sifat Islam masih masih menekankan pada praktek amaliah dari ajaran keagamaan. Hasil kerja dakwah yang paling monumental pada masa ini adalah kodifikasi al-Qur'an.[6]
Periode ketiga, masa tabi'in dengan rijal al-da'wah utama Said bin Musayyab, Hasan al-Bashri, Umar bin Abd. al-Aziz, dan Abu Hanifah. Keempat tokoh ini menekankan proses ihtisab dengan memulai perbaikan pada diri sendiri, keluarga, kemudian perbaikan umat, pengembangan dakwah dengan surat, membina perasaan takut kepada Allah, berpegang teguh pada agama, dan memperhatikan umat non-muslim (toleransi). Pada periode ini pola penalarannya cenderung pada metode muhadditsin dengan kecenderungan agak lebih beret kepada naql daripada aql, sebagaimana umumnya digunakan pada nalar mutakallimin.
Periode keempat, masa tabi' al-tabi'in, yaitu pada masa tokoh-tokoh Malik bin Anas, Syafi'i dan Imam Ahmad. Periode inilah yang disebut periode salaf, yang kemudian menjadi periode transisi. Kajian lebih berorientasi pada syari'at sebagai pesan dakwah. Pola penalaran teologis berkembang dengan baik sehingga teori yang banyak berkembang adalah metode penalaran mutakallimin, yang juga tidak mengabaikan metode penalaran muhadditsin.
Periode kelima, masa tabi' al-tabi' al-tabi'in, yaitu era dimulainya era khalaf sekitar 300 tahun setelah periode nubuwat berakhir. Pada masa ini muncul aneka corak pemikiran di berbagai bidang kajian keislaman sebagai hasil dari akumulasi interaksi antar budaya dalam perjalanan aktivitas dakwh sebagai aktualisasi dari pemikiran filosofis dakwah.
Pada periode ini di kalangan umat Islam mulai berkembang pola penalaran dua golongan: (1) pengguna penalaran isyraqi (illuminasionisme), pendukung metode nalar dari Plato yang tetap memperhatikan metode naql. (2) kelompok pengguna penalaran masya'i (paripatetisme) yang lebih condong ke pemikiran model Aristoteles dalam Islam. Percaturan pemikiran antara mu'tazili, sunni, dan syi'i sangat mendominasi pemikiran dakwah pada masa itu. Sementara sufisme juga mulai memproses ke arah sufisme filosofis yang menekankan pada konteks dakwah nafsiyah (internalisasi ajaran Islam pada tingkat intra individu).[7]
Periode keenam, era modern. Periode ini ditandai dengan semangat pemikiran untuk mengembalikan balance of power terhadap hegemoni Barat. Pada era ini pulalah dakwah sebagai ilmu mandiri menggeliat dan muncul ke permukaan. Demikianlah, walau sebagai aktivitas dan secara subtansif dakwah sudah ada berbarengan dengan adanya Islam di sepanjang sejarah kemanusiaan, namun tidak serta merta memuluskan terbentuknya dakwah sebagai ilmu tersendiri (Ilmu Dakwah). Sejak masa kenabian sampai dengan jangka waktu yang sangat panjang, yakni akhir abad ke-19, apa yang disebut sebagai Ilmu Dakwah belumlah dikenal.[8]
Moh. AH Aziz menggambarkan bahwa memasuki abad ke-20 sejarah Ilmu Dakwah menorehkan catatan yang baik karena telah mengalami alur sistematisasi ilmu yang disebut sistematis. Disusul kemudian dengan upaya serius mengokohkan dakwah sebagai disiplin ilmu yang mandiri yang disebut dengan tahapan ilmiah.[9] Jika dirunut ke belakang maka paling tidak tahapan perkembangan dakwah menjadi disiplin ilmu mandiri dapat terlihat seperti berikut ini.

a.             Tahap Konvensional
            Tahap konvensional ditandai dengan aktivitas dakwah sebagai aplikasi kewajiban setiap muslim terhadap agamanya. Yakni masih dalam bentuk kegiatan kemanusiaan yang berupa seruan atau ajakan untuk menganut dan mengamalkan ajaran Islam yang dilakukan secara konvensional, artinya dalam pelaksanaan operasional belum mendasar pada metode ilmiah, akan tetapi berdasarkan pengalaman perorangan. Oleh karena itu tahapan ini juga disebut dengan tahapan tradisional atau konvensional. Hal ini menjadi realitas sejarah dan menjadi aksi dari hampir setiap muslim sebagai bagian dari aplikasi kontekstual atas doktrin jihad. Menurut Amrullah Ahmad, pola dakwah pada periode ini didominasi oleh kesadaran amaliah, bukan konsep ilmiah meskipun faktanya telah banyak ulama yang menulis tentang dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar seperti Imam Ghazali dan tokoh semasanya, namun itu belum utuh dan baru sebatas embrio bagi munculnya Ilmu Dakwah.[10]

b.         Tahap Sistematis
Tahapan ini menjadi masa transisi atau tahap pertengahan antara tahap konvensional dan tahap ilmiah. Persoalan-persoalan dakwah sudah menjadi objek kajian akademik, dan menjadi wacana dalam pertemuan-pertemuan kaum terpelajar muslim. Masyarakat luas memiliki perhatian besar terhadap pelaksanaan dakwah Islam yang memunculkan budaya ilmiah seperti seminar, diskusi, saresehan, dan petemuan ilmiah lainnya yang secara khusus membicarakan masalah yang berkenaan dengan dakwah.[11]
c.             Tahap Ilmiah
Pada tahap ini dakwah telah berhasil terusun sebagai ilmu pengetahuan setelah melalui tahap sebelumnya dan memenuhi syarat-syaratnya yang objektif, metodik, dan sistematik.[12]

Literatur-literatur mengenai ilmu dakwah mulai bermunculan dengan pertanggungjawaban ilmiah yang jelas. Geliat ini dilakukan setelah berdirinya perguruan tinggi Islam, seperti di Universitas al-Azhar Mesir misalnya, dakwah Islam dikaji dan ditangani dalam bentuk program studi. Di antara penulis tentang dakwah dari kalangan akademisi program studi tersebut adalah Syeikh AH Mahfuzh dengan bukunya Hidayah al-Mursyidin. Pada tahun 1935, Ahmad Ghalwusy juga menulis buku berjudul al-Da'wah al-Islamiyah. Begitu juga dengan Abdul Karim Zaidan dan Abdul Halim Mahmud, masing-masing menulis tentang disiplin ilmu dakwah.[13]
Sementara di Indonesia, seperti yang diungkap Ahmad Haris, Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi. Hal ini terlihat dari fakta yang rnemmjukan bahwa para pedagang Muslim Arab serta para da'i dari Gujarat tiba di Pelabuhan Perlak, Aceh, Sumatera pada tahun 789 M. Perlak sendiri menipakan sebuah kerajaan Islam pada tahun 840 M dengan raja pertamanya Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah (840-846 M). Meski demikian ada juga yang menyebutkan bahwa Islamisasi di Indonesia terjadi pada abad ke-13, yakni tahun 1292 M sebagaimana ditemukannya sebuah prasasti berbahasa Arab pada batu nisan makam seorang wanita Muslim bertulisakan “Fatimah Binti Maimun ibn Hibatallah” di Leran, dekat Gresik, Jawa Timur yang disinyalir cikal bakal kiprahnya Wall Songo di pulau Jawa.[14]
Aktivitas dakwah di Indonesia pada awal mulanya Islam masuk dan berkembang baru sebatas dakwah konvensional, yakni dakwah secara praktis yang meliputi tabligh keagamaan, propaganda politik, aplikasi ajaran Islam secara indivuduil, dan teladan hidup para da'i yang dapat dikatakan sebagai metode tradisional. Setelah beberapa abad kemudian, lahirlah disiplin Ilmu Dakwah yang diprakarsai oleh perguruan tinggi Islam di Indonesia (PTAIN-IAIN) pada tahun 1960 yang membuka program studi Dakwah seperti di Fakultas Dakwah IAIN Banda Aceh.[15]

C.           Anatomi Dan Persinggungan Ilmu Dakwah
Sebagai ilmu yang mandiri, Ilmu Dakwah memiliki unsur kajian yang meliputi defmisi dakwah (Ta'rif al~Da'\vafi), hukum dan tujuan dakwah (Hukm al-Da'wah), Subjek Dakwah (Da'i), Objek Dakwah (Mad'ii), Metodologi Dakwah (Thoriq al-Da'wah), Media Dakwah (Wasa'il al-Da'wah), Materi Dakwah (Maddah al-Da'wafi). Di samping itu dakwah juga akan bersinggungan dengan ilmu-ilmu terapan yang mendukungnya seperti psikologi dakwah dan sosiologi dakwah. Semua itu agaknya penting untuk diuraikan agar pembahasan dalam makalah ini lebih komprehensif.

1 .            Definisi Dakwah
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), dakwah berasal dari bahasa Arab yang berbentuk mashdar (kata dasar) dari fi’il (kata kerja) “da’a-yad’u-da’wah” yang artinya panggilan, seruan, atau ajakan. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menggunakan kata dakwah dan derivasinya sebagai ajakan, seruan, atau panggilan seperti pada surah al-Baqarah ayat 23 dan ayat 221, serta surah Yunus ayat 25.
 
Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam). (QS. Yunus : 25)

Dakwah menurut istilah (terminologi) sebagaimana disimpulkan oleh para pakar dakwah, ialah meliputi pengertian yang bersifat pembinaan dan pengembangan yakni upaya mengajak umat manusia ke jalan Allah, memperbaiki situasi untuk lebih baik demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.[16] Di samping itu ada juga istilah-istilah yang mengandung dakwah, yakni tadzkirah atau indzar (memberi peringatan), nasihat, wasiat atau taushiyah, mau'izhah, tabligh, tabyin, dan amar ma'ruf nahi munkar.



2.              Hukum Dan Tujuan Dakwah
Seperti halnya banyak diungkap oleh para pakar dakwah, mereka sepakat bahwa dakwah hukumnya wajib. Meski mereka berbeda pendapat, namun sejauh ini perbedaan-perbedaan yang ada hanya seputar masalah apakah kewajiban itu bersifat individual, berlaku untuk setiap muslim (wajib 'ain) ataukah kewajiban itu bersifat kolektif, bfcilaku untuk kelompok tertentu saja (wajib kifayah). Perbedaan tersebut akibat perbedaan dalam memahami kata "min" pada kalimat "minkum" dalam surah Ali Imran ayat 104. Namun kedua golongan tersebut sepakat harus ada sekelompok Da'i professional dan proporsional dalam menjalankan dakwah.[17]
Dakwah memiliki tujuan umum (major objective) dan tujuan khusus (minor objective). Secara umum dakwah bertujuan mengajak umat manusia (baik orang mukmin, kafir, atau msyrik) ke jalan yang benar dan diridhai Allah Swt. agar dapat hidup bahagia di dunia maupun di akhirat. Sedangkan tujuan khusus dakwah dakwah pada dasarnya merupakan rumusan tentang rincian dari tujuan umum dakwah itu sendiri yang terkait dengan aktivitas dan sasaran yang dijalankan disesuaikan dengan objeknya (mad'ii). Dalam kata lain, tujuan khusus dakwah disesuaikan dengan operasionalya, seperti agar orang kafir masuk islam dan beriman, meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat Islam, pembinaan dan pengembangan masyarakat, dan lain-lain.[18]
3.             Subjek Dakwah (Da’i)
Subjek dakwah atau pelaku dakwah biasa disebut sebagtd da’i. Da’i yang dimaksud bersifat umum, yakni bukan saja da'i yang professional, akan tetapi berlaku juga untuk setiap orang yang menyampaikan, atau mengajak orang ke jalan Allah. Buya Hamka, seperti diungkap oleh Asmuni Syukur, menegaskan bahwa jaya atau suksesnya suatu dakwah memang sangat tergantung kepada pribadi pembawa dakwah itu sendiri.[19] Oleh karenanya, walaupun dakwah secara umum dapat dilakukan oleh setiap muslim, namun secara khusus memerlukan kualifikasi yang baik dari segi jasmani (fisik) dan rohani (psikologis).
4.             Objek Dakwah (Mad’u)
Objek dakwah artinya orang yang diajak atau didakwahi. Yang menjadi objek dalam dakwah semua manusia dengan beragam kelas dan golongannya. Abdul Karim Zaidan membagi objek dakwah ke dalam 4 (empat) golongan;
a.             Kaum Bangsawan (al-Mala’)
Yang dimaksud dengan kaum bangsawan ialah orang-orang terkemuka yang berperan sebagai pemimpin atau penguasa dalam suatu komunitas masyarakat. Mereka adalah pembesar-pembesar dan orang-orang yang berpengaruh di tengah masyarakatnya, baik dia muslim maupun kafir.
b.             Masyarakat Umum (Publik)
Mereka adalah rakyat atau masyarakat kebanyakan yang pada umumnya menjadi pengikut para tokoh atau penguasa setempat (al-Mala1}. Lazimnya mereka terdiri dari orang-orang lemah dan miskin.
c.             Orang-orang Munafik
Orang munafik adalah orang yang menampakkan dukungan di depan, tetapi di belakang ia berlawanan. Orang-oran munafik merupakan objek dakwah yang paling berat karena keberadaan mereka tidak mudah diketahui.
d.            Orang-orang Yang Maksiat
Golongan yang keempat ini lebih tertuju kepada umat Islam yang dalam kehidupan sehari-harinya sering malakukan hal-hal yang dilarang oleh dalam Islam. Pada dasarnya mereka adalah kaum beriman, akan tetapi keimanannya tidak kokoh sehingga tidak jarang melakukan kemaksiatan.[20]

5.             Metodologi Dakwah (Thoriq al-Da’wah)
Al-Qur'an sebagai kitab dakwah memberikan petunjuk mengenai metode yang mesti diterapkan dalam berdakwah. Metode tersebut sesuai dengan karakteristik manusia yang terbagi ke dalam tiga golongan; (1). Golongan cendikiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis dan daya pikir yang kuat. (2). Golongan awam, yakni kebanyakan orang yang daya pikirnya lemah. (3). Golongan yang tingkat kecerdasannya antara cendikiawan dan awam.[21] Oleh karenanya al-Qur'an menegaskan ketiga metode dan pendekatan dalam berdakwah berikut ini;
a.             Metode Hikmah (Logis Filosofis)
Metode hikmah ialah ucapan yang jelas dan diiringi dalil-dalil yan mempertegas kebenaran dan menghilangkan keraguan. Metode ini melalui pendekatan ilmiah yang dihadapkan kepada golongan pemikir atau kaum intlektual dengan mengetengahkan bukti-bukti ilmiah yang logis (approach filosofi).
b.             Metode Mau'izhah Hasanah (Nasihat yang Baik)
Mau'izhah hasanah ialah ungkapan bijak yang digunakan untuk menasihati orang lain dengan mengetengahkan dalil-dalil yang melegakan bagi orang awam. Metode ini lebih tepat digunakan kepada golongan orang awam.
c.             Metode Mujadalah (Diskusi Yang Terbaik)
Mujadalah adalah bertukar pikiran atau berdiskusi. Metode yang ketiga ini melalui pendekatan dialogis untuk menanamkan rasa saling menghargai antara da'i dan mad'u. Hal ini juga untuk menguatkan keyakinan da'i yang argumentative, dan bahkan dapat mengalahkan argumentasi lawan bicara yang akhirnya dapat menerima apa yang diserukan oleh da'i. metode yang ketiga ini lebih tepat ditujukan kepada golongan pertengahan antara cendikiawan dan awam.

6.             Materi Dan Media Dakwah
Materi dakwah ialah pesan-pesan yang disampaikan kepada mad'u yang pada prinsipnya adalah dari ajaran Islam. Materi yang disampaikan harus disesuaikan dengan golongan audien atau mad'u. Hal ini karena seperti telah disinggung di atas bahwa mad’u terdiri dari berbagai golongan dan kalangan. Sebuah maqalah menganjurkan, “Berbicaralah kepada masyarakat sesuai dengan kadar daya pikirnya”.[22]
Adapun media dakwah yang dapat digunakan pada masa sekarang ini telah berkembang luas seiring kemajuan sains dan teknologi modern. Media artinya jalan atau cara yang ditempuh dalam menyampaikan sesuatu atau biasa disebut dengan alat perantara penyampaian sesuatu. Media yang dimaksud bisa berupa mimbar ceramah atau pengajian, TV, Internet, Telphon seluler, Koran dan majalah, dan lain-lain. Materi dan media dakwah di atas akan selalu berkaitan dengan sosio kultural dan psikologi masyarakat yang menjadi mad'u. sehingga pendekatan sosial dan psikologi manusia sangat dibutuhkan. Semuanya akan tertata secara integral dengan rapi dan baik jika didukung dengan pengelolaan yang baik, yakni manajemen. Berikut ini kaitan ilmu dakwah dengan ilmu-ilmu yang lain.
a.             Dakwah Dan Sosiologi
Hal-hal pendukung yang tak kalah pentingnya dengan unsur-unsur dakwah di atas yaitu persinggungan antara ilmu dakwah dengan ilmu-ilmu yang lain. Sebagaimana telah terurai bahwa subjek dan objek dakwah adalah manusia. Beragamnya suku dan ras manusia mempengaruhi tingkat sosial dan psikologi mereka. Tingkatan status sosial masyarakat, diakui atau tidak, berbanding lurus dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu, dakwah perlu didukung dengan ilmu terapan lain yang terkait erat dengannya. Dalam hal ini psikologi dan sosiologi menemukan relevansinya dengan dakwah, sehingga muncullah ilmu sosiologi dakwah dan psikologi dakwah.
Sosiologi dakwah dimaksudkan untuk mengetahui sosiologi manusia dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah. Bahkan lebih jauh lagi, ia membahas perkembangan dakwah di tengah masyarakat dari masa ke masa, sehingga wilayah dakwah dapat terpetakan dengan jelas berikut kultur dan budayanya. Demikian itu akan lebih jelas lagi karena pada prinsipnya dakwah merupakan upaya mengadakan perubahan sosial menuju yang lebih baik.
b.             Dakwah dan Psikologi
Demikian pula halnya dengan psikologi. Manusia sebagai makhluk sosial dan memiliki keinginan dan perasaan, agar dakwah efektif harus disampaikan dengan cara dan pada kondisi yang tepat bagi mad'unya. Pendekatan psikologi sangat dibutuhkan agar terciptanya dakwah persuasif, yakni dakwah yang sesuai dengan keadaan mental mad'unya sehingga pesan dakwah dapat ditangkap dan dipahami. Kondisi mental mad'u yang berbeda-beda menuntut materi, media, maupun metode yang digunakan dalam berdakwah berbeda pula.
c.             Dakwah dan Manajemen
Semua unsur dakwah itu memerlukan pengelolaan dan pengaturan yang tepat dan terarah. Ilmu manajemen menjadi urgen untuk menunjang keberhasilan dakwah. Hal inilah yang mendorong para pakar menyimpulkan sebuah ilmu terapan baru bagi pendukung dakwah, yaitu manajemen dakwah. Demikian sebagaimana Ali ra. pernah menegaskan;
الحق بلا نظام يغلبه الباطل بنطام
Artinya: “Kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”.

D.           Strategi Umat Islam Membentuk Peradaban Global
Sebagaimana  pernah   dibahas   oleh   pemakalah   lain   bahwa   globalisasi membawa dampak dan implikasi yang sangat kompleks bagi umat Islam dewasa ini. Jika tidak segera diupayakan antisipasi terhadap akses globalisasi tersebut, maka umat Islam akan semakin terpuruk dalam ketertingalan yang semakin jauh. Ini mengakibatkan teqadinya apa yang disebut sebagai bentrokan peradaban oleh Samuel P. Huntington[23] Bahkan mungkin bentrokan itu terjadi di dalam umat Islam atau bangsa Indonesia sendiri. Akan tetapi jika konsep antisipasi ini dapat dilaksanakan, niscaya umat Islam atau bangsa kita akan mampu membuat perhitungan terhadap peradabannya sendiri di masa depan.
Konsep strategis yang haras segera kita aktualisasikan secara komprehensif, continue, dan konsisten tersebut terangkum dalam bentuk "tiga belas teori peranan umat" berikut latar belakang serta prediksi masa depan yang meliputi;
Pertama, kehidupan masa depan hanya dapat dihadapi dengan Islam yang menjadi way of life dan kerangka berpikir. Strategi yang ditempuh harus berupa proses bertipikal peleburan religiusitas dalam kehidupan manusia yang menuntut pola kesadaran rohani sebagai kekuatan untuk mengubah sejarah objektif yang mungkin dan potensial, yang menekan kepada sejarah sakral, yang transenden, yang bebas dari ruang dan waktu duniawi (shalih likulli zamann wa makari). Islam harus ditampilkan secara historis, sosial-psikologis dan teologis.[24]
Kedua, sebagai implikasi logis dari yang pertama, maka dalam menganalisa identitas Islam secara keseluruhan harus selalu membedakan antara inti keyakinan dengan rangkaian kesaksian di seputar perjalanan menuju yang mutlak, yang dikemukakan sepanjang masa oleh pribadi-pribadi Islam yang besar.[25]
Ketiga, peran umat Islam dalam memasuki era industrialisasi lewat peranan cendikiawan adalah ikut meratakan jalan bagi terjadinya proses penerimaan dan pelaksanaan dari modernitas yang sedang berlangsung. Umat Islam, demikian menurut Nurkholis Majid, harus melepaskan diri dari trauma kesejarahan yang panjang tentang permusuhannya dengan Barat yang secara "kebetulan" sampai saat ini masih menjadi sumber utama teknisasi dan indurtrialisasi dunia meski awalnya diadopsi secara metodologi dari dunia Islam. Kita harus memilah dan mengambil budaya positif yang datang dari Barat untuk menunjang pola pelaksanaan Islam dalam perkembangannya bagi kehidupan yang bertumpu pada asas kemakmuran, ilmu pengetahuan dan kebebasa.[26] Di samping itu, harus dibangkitkan kembali kesadaran adanya hubungan organic Islam (masa) klasik dengan modernitas itu sendiri pada peringkat doctrinal dan historis. Sehingga kesadaran itu diharapkan kaum muslim memiliki percaya diri yang lebih besar untuk menyumbang secara positif dan konstruktif terhadap masalah modernisasi ini dengan cara melakukan perubahan besar (trans mutation) terhadap peradabannya sendiri untuk kembali membangun pola masyarakat madam seperti setidaknya agak mendekati pada masa Rasulullah Saw.
Keempat, kembali kepada konsep syari'ah. Modernisme yang hanya menyandarkan pada aspek rasionalismenya (yakni rasionalitas ekstrem) justru terbukti menjadi pangkal malapetaka dan mengakibatkan kegagalan pembangunan sistem peradaban kita. Sedangkan syari'ah mengajarkan pola tanggung-jawab pribadi, egaliterianisme, kebersamaan (kolektifitas) dan universalisme sehingga memunculkan semangat entrepreneurship yang tinggi. Di sini kita dituntut dapat menjalankan dua fungsi, sebagai 'abidullah yang bertugas untuk tunduk dan patuh secara vertikal kepada Allah, dan sebagai Khalifah Allah di bumi yang memikul beban ibadah horizontal demi kemanusiaan. Kedua fungsi ini terlihat dalam hubungan segi tiga kesatuan Tuhan, manusia, dan alam (theo anthropologi). Ketiga kesatuan hubungan ini jika salah satunya kurang berfungsi maka akan terjadi ketimpangan yang berupa in-konsistensi pola pelaksanaan keagamaan.
Kelima, menegakkan sistem disiplin sebagai acuan dalam seluruh perilaku hidup dan kehidupan. Konsep disiplin ini melahirkan konsep keagamaan yang berupa tindakan fahsya' dan munkar, karena jiwa muslim tidak saja menjauhi hal-hal yang merugikan diri sendiri (konsep fahsya1} akan tetapi lebih jauh lagi juga menjaulii tindakan yang merugikan orang lain (konsep munkar). Dari pribadi muslim seperti inilah lalu lahir dan berkembang aspek kepedulian sosial yang mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Sebagai akibat mentalnya, ketahanan jiwa muslim semakin kokoh dan kuat dengan terbinanya sikap sabar dalam mendahulukan kepentingan orang lain.
Keenam, untuk mengokohkan konsep disiplin, masyarakat Islam harus kembali memompakan kekuatan iman yang semakin hambar tergerus oleh materialisme-modern. Kekuatan iman itu akan meneguhkan eksistensi masyarakat Islam dan justru yang harus paling banyak mendapatkan kemanfaatan dengan adanya kemajuan peradaban yang datang dari Barat.
Ketujuh, globalisasi merupakan gerakan mono-cultur. Krisis yang ditimbulkannya terpampang dalam krisis urbanisasi, ketercerabutan akar sosial budaya, radikalisme, kultusisme dan lain-lain. Abad informasi yang didukung oleh rasionalisme seharasnya kita pahami sebagai salah satu faktor pengungkapan ayat-ayat Allah yang menyeluruh dan komprehensif. Kaum muslimin dapat menatap masa depan dengan mantap dan penuh keyakinan karena tidak ada lagi ruang bagi misteri kemanusiaan dan mitologi. Dalam era yang sepenuhnya mengembangkan rasionalitas itu, maka ajaran tauhid dan tujuannya akan terwujud sepenuhnya dengan bimbingan Allah Swt. Hal itu karena Islam sejalan dengan rasionalitas sebagaimana hadis Nabi menyatakan bahwa "al-Dinu 'Aql Wa La Dina Liman La 'Aqla Lah".
Kedelapan, mengartikulasikan berbagai nilai-nilai positif dalam agama serta menghasilkan kreatifitas yang sesuai dengan zaman dan mengembalikan relevansinya ke tengah masyarakat. Peran ini barangkali lebih tepat untuk para ilmuwan dan intlektual. Tentu hal ini harus berangkat dari nilai-nilai normatif; (1). Keimanan kepada Allah, (2). Keimanan bahwa Allah sebagai Pencipta alam termasuk manusia, (3). Manusia adalah makhluk yang bertanggung-jawab, (4). Upaya untuk selalu menjalani kehidupan ini dengan kepribadian yang terbaik, (5). Sederhana dalam menggunakan harta (tengah-tengah), (6). Bertauhid, (7). Tidak membunuh sesama kecuali dengan alasan yang sah, (8). Menjaga kehormatan diri, (9). Tidak menjadi saksi palsu, (10). Menjauhkan diri dari-hal-hal yang tercela, (11). Bersikap kritis terhadap ajaran agama, (12). Berusaha menciptakan keluarga bahagia, (13). Berusah menjadi yang terdepan dalam menjalani ajaran agama. (14). Berterima kasih kepada sesame terutama kepada orang tua, (15). Sadar akan akibat amal perbuatan, (16). Semangat beribadah, (17). Memperjuangkan tegaknya standar moral masyarakat, (18). Sederhana dalam tingkah laku dan ucapan, dan lain-lain.
Kesembilan, menata sudut pandang perubahan sosial-politik. Hal ini dimaksudkan untuk meredam gejolak sosial akibat situasi politik yang terus berkembang.
Kesepuluh, membuka kesadaran masyarakat akan adanya keterbukaan dan kebebasan interpretasi terhadap khazanah doktrin agama, baik di bidang teologi, fikih, maupun moralitas. Konsep ini berguna untuk membuka kran saling menghargai pendapat antar sesama muslim mengenai apa yang diyakininya sehingga tercipta masyarakat yang tenteram dan damai.
Kesebelas, untuk menopang sendi-sendi peran akltif di atas maka diperlukan adanya landasan yang mengarah kepada "masyarakat belajar" (learning society) yang merupakan konsekuensi logis dan respon yang seharusnya terhadap era informasi.
Kedua belas, untuk membentuk masyarakat belajar tersebut perlu ditopang dengan empat syarat utama; (1). Watak kosmopolitanisme Islam, (2). Sikap inklusif, (3). Watak egaliter, dan (4). Equillibriumitas dunia akhirat, yakni keseimbangan orientasi dunia dan akhirat.
Ketiga belas, mengambil peran transformasi menuju masyarakat madani, yang dalam skala dunia belum pernah terbentuk kecuali pada masa Rasulullah Saw. Adanya semangat reformasi ini mengindikasikan agar setiap saat harus dilakukan lagi penataan ulang (reformuiasi), dekonstruksi sekat-sekat yang mengabsahkan stagnasi pemikiran dan praktis keberagamaan berdimensi sosial, serta menyediakan alternative yang signifikan dengan kemaslahatan umat tanpa mensterilisasi dimensi "ketakwaan sosial" dan transendensi populistik dari bingkai keberagamaan.[27]
E.            Kesimpulan
Uraian di atas menumbuhkan suatu kesimpulan bahvva umat Islam di manapun berada dalam mengarungi era globalisasi ini harus tetap optimis dan bersikap selektif terhadap kebudayaan Barat dengan bersiteguh berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam dan senantiasa berupaya semampu mungkin untuk memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi modern bagi kepentingan kemajuan Islam. Diawali dengan bagaimana menyikapi globalisasi lalu menetapkan langkah-langkah antisipasi dengan harapan terbangunnya peradaban Islam kembali yang terejawantahkan dalam masyarakat madani, ketiga belas konsep ditawarkan untuk berusaha menggapai semua itu.
Wallahu A’lam Bis-Shawab…



Daftar Pustaka

-           Anas, Ahmad, Paradigma Dakwah Kontemporer; Aplikasi Teoritis dan Praktis Dakwah Sebagai Solusi problematika Kekinian, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2006).
-           Ismail, A. Ilyas, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Dekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006),
-              Syukur, Asmuni, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983).
-              Huntington, Samuel P., The Clash of Civilization, Musim Semi, 1992
-           Zaidan,   Abdul  Karim,   Ushul  al-Da'wah,   (Baghdad-Irak;   Darul  Umar  bin Khattab,1975)
-               Madjid, Nurkholis, Tradisi Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997).
-               Abduh, Muhammad, Tafsir Al-Manar,
-               Al-Maraghi,Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi,
-           Mahfuzh, Ali, Hidayah al-Mursyidin Ila Thuruq al-Wa'zhi Wal Khithabah, (Mesir: Dar al-I'tisham, 1979)
-           Al-Bayanuni, Muhammad Abu al-Fath, Al-Madkhal Ila 'Ilm ad-Da'wah, (Beirut-Libanon: Mu'assasah ar-Risalah, 1995)
-           Zaidallah, Alwisral Imam, Strategi Dakwah Dalar" Membentuk Da'I Dan Khatib Profesional, (Jakarta: Kalam Mulia. 2002).
-           Komarudin & Yoke Tjuparmah, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta; Bumi Aksara, 2006).
-           Haris, Ahmad, Islam Inovatif; Eksposisi Bid'ah Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: GaungPersada,2007).




[1] .            Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer; Aplikasi Teoritis dan Praktis Dakwah Sebagai Solusi Problematika Kekinian, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006), cet. Ke-1, h. 16.
[2] .            Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani "hermeneuein" yang artinya kepandaian menjelaskan dan menginterpretasi suatu hal. Dalam bahasa Francis disebut hermeneutique, suatu teori yang menyajikan kaidah-kaidah untuk menafsirkan dan memahami suatu teks. Hermeneutuka tidak hanya melibatkan subjek dan objek, tetapi juga mempertimbangkan suatu proses histories. Kesadaran sejarah seseorang mempengaruhi pengetahuan dan penafsirannya mengenai sesuatu. Lihat; Komaruddin & Yooke Tjuparmah S, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet. Ke-3, h. 80.
[3] .             3 Ahmad Anas, Op.Cit. h. 16
[4] .             Ibid
[5].              Didin Saefudin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), Cet. Pertama, h. 127.
[6] .             Ahmad Anas, Ibid.
[7] .            Ahmad Anas, Op. Cit. h. 17
[8] .             Ibid., 18
[9] .             Ibid., 19
[10] .           Ibid
[11] .           Ahmad Anas, Ibid. Lihat Juga; M. AH Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.216.
[12] .           Ibid
[13] .           Syeikh ali Mahfuzh menulis kitabnya "Hidayah al-Mursyidin" sekitar tahun 1958. Sedangkan Abdul Karim Zaidan "Ushul al-Da'wah"pada tahun 1975 dan Ali Abdul Halim "Al-Da'wah al-Fardiyah" pada tahun 1990 M. Ahmad Anas, Ibid, h.227-231.

[14] .           Hal ini seperti dikemukakan oleh sejarawan Abul Ishak Mekrani al-Fashi dalam kitabnya "Kitab Izhar al-Haqq". Lihat; Hamka dan M. sa'id, Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia, (Medan: Pertjetakan Waspada, 1963), hal. 87, 207. Lalu bandingkan, al-Hasymy, Sejarah; LAIN Jakarta, Seminar Internasional Tentang Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1986); KHO. Gadjahnata dan Sri-Edi Swasono, ads, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta: UI Press, 1986). Seperti juga dalam Ahmad Haris, Islam Inovatif; Eksposisi Bid'ah Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Gaung Persada, 2007), cet. Ke-l,h. 25-26.
[15] .           Ahmad Anas, Op.Cit., h. 21

[16] .          Lihat A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), cet. Ke-1, h. 136. Lihat juga; Ali Mahfazh, Hidayah al-Mursyidin Ila Thuruq tf-Wa'zhi Wal Khithabah, (Mesir: Dar al-I'tisham, 1979), cet. Ke-9, h. 20. Bandingkan, Muhamad Abu al-Fath al-Bayanuni, Al-Madkhal Ila 'Urn ad-Da'wah, (Beirut-Libanon: Mu'assasah ar-Risalah, 1995), cet. ke-3, h. 31. Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 21.      
[17] .          Lihat A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), cet. Ke-1, h. 136. Lihat juga; Ali Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidin Ila Thuruq al-Wa'zhi Wal Khithabah, (Mesir: Dar al-I'tisham, 1979), cet. Ke-9, h. 20. Bandingkan, Muhamad Abu al-Fath al-Bayanuni, Al-Madkhal Ila 'llm ad-Da'wah, (Beirut-Libanon: Mu'assasah ar-Risalah, 1995), cet. ke-3, h. 31.    
[18] .          Asmuni Syukur, Op.Cit. h. 56-57
[19] .           Asmuni Syukur, Op.Cit. h. 34
[20].            Lihat;   Abdul  Karim  Zaidan,   Ushul  al-Da'wah,   (Baghdad-Irak;   Darul  Umar  bin Khattab,1975), h. 366-382.
[21].            Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, Lihat juga; Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
[22].            خاطبوا الناس علي قدر عقولهم (المقالة)
[23] .          Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization, Musim Semi, 1992, dalam catatn kaki Ahmad Anas, Op.Cit. h.167.
[24].           Ibid. h. 168
[25] .           Ibid
[26] .          Nurkholis Madjid, Tradisi Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997).

[27] .          Ahmad Anas, Op.Cit. h. 170-179

Tidak ada komentar:

Posting Komentar