Translete This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 29 Mei 2011

DAKWAH DENGAN BERPIJAK PADA KEARIFAN LOKAL LEBIH KUAT DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI



Oleh : Ahmad Dimyati

A.     Latar Belakang
Perkembangan ilmu dan teknologi berpengaruh terhadap dakwah, positif maupun negatif. Demikian juga globalisasi yang dipicu oleh perkembangan teknologi informatika telah mempengaruhi seluruh bidang kehidupan, dengan tanpa kecuali. Globalisasi akhirnya mendatangkan problem baru terhadap dakwah. Lebih-lebih jika dilihat adanya kaitan dengan ‘speed’, yaitu adanya kecepatan perkembangan teknologi yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam bidang-bidang kehidupan terbawa dalam arus kecepatan perubahan tersebut. Maka kemudian aktifitas dakwah perlu membuat akselerasi baru sesuai dengan proses perubahan yang terjadi.
Pemahaman terhadap pentingnya akselerasi dakwah bertumpu pada paham mengenai pentingnya proses atau sekuensi aktifitas dakwah. Ketika bicara tentang proses dakwah, maka dengan kata lain pembicaraan ini berada pada perspektif ikhtiari, dan bukan bicara pada domain konsepsi tujuan dakwah.  Maka kemudian harus dipahami bahwa tugas suci dakwah lebih berada pada ikhtiar bagi setiap muslim dalam berdakwah, dibandingkan dengan soal hasil-hasil yang dapat dicapai. Hal ini terkait dengan ‘hisab’ di akhirat yang akan menimbang amal perbuatan seseorang (ikhtiari) yang telah dilakukan sewaktu hidup, tetapi bukan mengenai hasil-hasil pencapaian dari ikhtiarnya. Khusus dalam ikhtiar berdakwah, maka tidak akan di ’hisab’ mengenai berapa jumlah orang yang berhasil engkau bawa dari non Islam untuk pindah menjadi memeluk agama Islam.
  Mengenai bab tujuan dakwah tidak dibahas lagi, karena sepertinya sudah ‘given’ alias sudah gamblang bahwa dakwah dilakukan dengan tujuan untuk menyeru, mengajak dan membawa manusia kepada hidayah Tuhan, yaitu dari dulumat kepada cahaya kehidupan dari Tuhan untuk keselamatan manusia di dunia dan akhirat.
 Adanya perintah wajib berdakwah dan adanya petunjuk-petunjuk mengenai pendekatan dan metode berdakwah yang pada pokoknya adalah 1) tidak boleh memaksa namun terus menerus tidak boleh putus asa, dan 2) agar dilakukan dengan hikmah dan  mauidzah hasanah, serta 3) bermujadalah (berdiskusi dan berdialog) dengan baik; menunjukkan bahwa ruang gerak ikhtiari dalam berdakwah telah memiliki rambu-rambu yang jelas. Tambahan buat da’i professional labih dari hal itu da’i harus juga paham pentingnya  berdakwah dengan sungguh-sungguh dan memiliki bekal ilmu yang cukup.
Bahwa konsepsi berdakwah bagi setiap da’i professional harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan bekal ilmu yang cukup merupakan kata kunci bagi dakwah menghadapi globalisasi. Karena apa, karena globalisasi berlangsung secara pasti tanpa dapat dihentikan, dan dalam skala masif yang semakin hari semakin canggih. Maka da’i pun harus bergerak dengan cara yang tidak dapat dihadang oleh arus globalisasi.
Misalnya pada level anak-anak, saat ini mereka lebih suka main game online bahkan berjam-jam sekalipun, ketimbang pergi sekolah madrasah diniyah pada sore hari atau mengaji pada malam hari – seperti yang kami (semua anak-anak sebaya) lakukan sewaktu kecil dahulu. Maka pemikir dakwah harus mencari cara bagaimana anak tidak hanyut pada permainan modern seperti itu yang lebih banyak madhorotnya daripada manfaatnya.  Pada level dewasa, saat ini mereka (khususnya ibu-ibu) lebih betah di depan layar tv berjam-jam sekalipun, ketimbang berdzikir, membaca al-Qur’an ataupun mengajari anak-anak seputar pelajaran di sekolahnya. Bagi mereka nongkrong di depan tv sepertinya sudah menjadi amalan wajib tiap hari. Tentu ini memprihatinkan karena   banyak tayangan tv yang a-sosial, a-pandidikan dan bahkan a-agama. Tentu ini problem serius bagi dakwah yang harus dicarikan solusinya secara sungguh-sungguh dengan dukungan ilmu yang cukup, bahkan perlu dicarikan juga dukungan teknologinya.
B.      Permasalahan Dakwah pada Era Globalisasi
Langkah pertama memahami permasalahan dakwah pada era globalisasi adalah membuat kategorisasi terhadap sifat-sifat globalisasi dalam perspaktif dakwah. Maka dapat dipetakan sifat-sifat globalisasi sebagai berikut:
1)   Sifat globalisasi berlangsung dengan massif, artinya berlangsung serentak pada semua wilayah, sehingga tidak ditemui lagi daerah terisolir yang tidak mengetahui perkembangan dunia. Sebaliknya tidak ditemui lagi daerah terpencil yang tidak dapat dilihat oleh dunia.
2)   Sifat globalisasi terkait dengan kemajuan ilmu dan teknologi, sehingga bangsa yang unggul di bidang ilmu dan teknologi akan memimpin laju globalisasi, dan memetik keuntungan financial atau material yang dikeruk dengan mudah dari kantong-kantong pihak yang mengkonsumsi arus globalisasi tersebut.
3)   Sifat globalisasi membawa stigma kebudayaan dan tata nilai yang dipengarui oleh budaya dan tata nilai pihak yang unggul dalam arus globalisasi. Pihak yang unggul secara sengaja maupun tidak sengaja telah melakukan penetrasi pemikiran dan budaya kepada pihak yang lemah. Pihak yang unggul sepertinya telah memproduksi  icon-icon budaya dan tata nilai yang kemudian dikonsumsi oleh pihak yang lemah, yang kemudian bermental suka meniru atau mengekor kepada pihak yang unggul tersebut.
Akibat dari globalisasi adalah krisis identitas.
Dengan semakin mudahnya penyebaran manusia (diaspora) ke pelbagai pelosok dunia ternyata menciptakan proses asimilasi dan akulturasi budaya yang pada gilirannya menghilangkan keaslian budaya tempatan. Dalam konteks ini, budaya Barat telah memainkan peranan signifikan terhadap pembentukan peradaban manusia. Budaya ini kemudian menghegemoni di kalangan Negara Dunia Ketiga.
Akibat dari globalisasi adalah timbulnya fenomena alienasi pada tingkat individual.
Perasaan keterasingan seseorang di tengah lingkungan hidupnya sendiri sebagai dampak ketidaksiapan mentalitas individu menghadapi proses kehidupan yang impersonal, yaitu beralihnya otoritas moral kepada otoritas politik, otoritas ekonomi, otoritas IPTEK dan hal-hal lain yang bukan manusia - telah menyebabkan orang yang lemah semakin tidak berdaya. Maka di mana-mana semakin banyak orang sakit jiwa maupun yang bunuh diri. Anak-anak bermain game online, orang dewasa menghabiskan waktu di depan layar tv, orang tua sibuk bekerja dan lain-lain yang kesemuanya menyebabkan manusia tidak kenal dengan tetangganya. Mendorong pada trend individualisme dan renggang ikatan sosialnya.
Akibat dari globalisasi adalah pendangkalan agama.
Pada gilirannya agama ikut tergerus. Fenomena yang bersifat massif adalah terjadinya pendangkalan agama. Akibat lain adalah makin banyak terjadi pemurtadan. Dalam peristiwa Rakernas Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada Januari 2011  di Jakarta, dari MUI Propinsi DIY melaporkan bahwa akibat gempa dan tsunami Yogyakarta pada tahun 2006 telah  terjadi pemurtadan 5000 umat Islam yang pindah ke agama lain. Prosesnya berawal ketika korban bencana alam di sana mendapat santunan yang cukup material dari kelompok agama lain, yang kemudian berakibat pada pindah agama. Hal ini dapat dicatat sebagai akibat kondisi awal umat Islam disana yang telah tergerus agamanya, alias telah terjadi pendangkalan agama terlebih dahulu. Sebab jika agamanya kuat pasti tidak terjadi pemurtadan sedemikian banyaknya.
Menjadi logis jika kalangan ulama dan da’i harus berpikir mengenai cara-cara yang up to date namun sesuai dengan kaidah syar’i dalam melaksanakan tugas suci berdakwah pada era globalisasi. Maka kemudian pertanyaannya adalah bagaimana pendekatan dan metode dakwah yang mampu mengalahkan pengaruh buruk dari globalisasi ?
C.      Berpijak pada Kearifan Lokal sebagai Pendekatan Dakwah
1.   Makna Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan setempat, yang terbentuk dari tinggal di tempat tersebut secara turun-temurun. Pengetahuan semacam ini mempunyai beberapa karakteristik penting yang membedakannya dari jenis-jenis pengetahuan yang lain. Kearifan lokal berasal dari dalam masyarakat sendiri, disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan, dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, serta tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana untuk bertahan hidup.
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, penyebarluasan praktik-praktik kearifan lokal tertentu seringkali mendatangkan sebuah tantangan.
Menurut John Haba, kearifan lokal ialah sebuah kebudayaan yang mengacu pada pelbagai kekayaan budaya itu sendiri, yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat, dikenali, dipercayai, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat.
Manfaat publikasi ini  bahwa prinsip-prinsip kearifan lokal dapat diterapkan di tempat-tempat lain, tentu saja dengan penyesuaian dengan budaya lokal setempat. Penerapan kearifan lokal merupakan sebuah proses dan membutuhkan keterlibatan para pemangku kepentingan yang lebih luas serta dukungan kebijakan.
Per konsep istilah kearifan lokal mulai banyak digunakan oleh pakar sosiologi dan antropologi sejak akhir abad 20. Bahkan pada awal abad 21 penggunaan konsepsi kearifan lokal diterapkan juga pada usaha mengatasi konflik sosial, digunakan juga pada cara-cara mengatasi dampak bencana alam serta diterapkan juga pada pengembangan kultur bertani dengan semangat meningkatkan kualitas dan usaha agribisnis berdasarkan produk unggulan daerah tempatan.
Sifat-sifat kearifan lokal dapat dikatakan memiliki karakter berikut:
a.      Kearifan lokal memiliki kemampuan merevitalisasi. Artinya pada diri hal yang disebut memiliki kearifan lokal, secara meyakinkan dia memiliki kemampuan berkembang sekalipun dihadapkan pada tantangan dan kesulitan.
b.      Kearifan lokal memiliki sifat sustainable. Artinya hal yang dikatakan memiliki kearifan lokal dia bersifat mapan dan bertahan dalam masa yang tidak terbatas dan dipegang teguh oleh masyarakat dengan kompak.
c.   Budaya baru yang masuk dengan memiliki kesesuaian dengan kearifan lokal membuat berkurangnya mismatch atau ketertolakan terhadap yang baru masuk itu.
Dicontohkan budaya Bali tetap eksis di tengah-tengah derasnya turis mancanegara ke Pulau itu. Masyarakat Bali terdorong lebih mengentalkan budaya mereka karena ternyata budaya yang genuine lebih diminati turis sebagai khasanah budaya yang spesifik dan memiliki keindahan yang mengesankan.
2.   Dakwah yang Berpijak pada Kearifan Lokal
Contoh dakwah dengan berpijak pada kearifan lokal telah dilakukan oleh walisongo ketika melakukan islamisasi Pulau Jawa. Even yang fenomenal adalah ketika Sunan Kalijaga punya gagasan menampilkan pagelaran wayang Beber pada saat dilakukan peresmian Masjid Agung Demak. Rencana ini mendapat perlawanan dari Ketua Walisongo yang waktu itu dijabat Sunan Giri karena menurutnya wayang Beber tidak sesuai dengan kaidah syar’i. Waktu itu wayang Beber masih menggunakan bentuk wajah manusia, sehingga dinyatakan haram hukumnya menampilkan kesenian dengan gambar-gambar orang. Maka Sunan Kalijaga merubah bentuk wayang menjadi bentuk karikatur yang terbukti lebih memiliki kandungan artistik yang tinggi, yang kemudian dilestarikan hingga dewasa ini. Bukan hanya bentuk wayang yang dirubah, namun kandungan isi ceritanya diisi dengan ajaran-ajaran tauhid dan ajaran moral yang bersumber dari ajaran Islam.
Sejarah mencatat bahwa pagelaran wayang oleh Sunan Kalijaga mampu menarik  simpati masyarakat Hindu di Jawa pada zaman itu yang dengan cepat terjadi Islamisasi secara damai.
Dakwah walisongo pada kajian-kajian terdahulu dikatakan menggunakan pendekatan kultural. Hal ini disebabkan Walisongo tidak menggunakan cara-cara dakwah dengan bertabligh, yaitu pendekatan dakwah dengan sekedar menyeru atau mengajak secara lisan maupun tulisan. Walisongo tidak pula menggunakan pendekatan politik ataupun penaklukan kekuasaan. Walisongo lebih banyak memberi pendidikan, memberi contoh tauladan dalam berkarya atau berproduksi dalam berbagai-bagai bidang kehidupan. Utamanya Walisongo sangat apresiatif terhadap  upaya-upaya meningkatkan taraf hidup dan pendidikan masyarakat luas. Namun Walisongo sangat tegas melawan penjajahan, terbukti telah memenangkan pertempuran melawan portugis, dan mengusirnya dari bumi Pulau Jawa.
Pada kajian ini diangkat perspektif baru dengan melihat keunggulan dakwah Walisongo yang berpijak pada kearifan lokal. Pada cara pandang ini ingin dikemukakan, bahwa Walisongo telah menggunakan kecerdasannya yang luar biasa dengan memilih berkarya dengan memproduksi berbagai hal yang bersifat Islami melalui pembaharuan pada hal-hal yang telah menjadi kebanggaan masyarakat pada saat itu. Contoh lain Sunan Bonang dikenal telah menciptakan alat musik Bonang yang terkenal di daerah Jawa Timur. Hal ini menunjukkan bukan saja Sunan Bonang piawai dalam musik, namun disadari bahwa musik pada saat itu, dan bahkan sampai kini, telah menjadi salah satu puncak-puncak keunggulan budaya. Jika suatu bangsa dapat menciptakan musik yang berkualitas maka ia akan memperoleh keuntungan material maupun non material yang sangat besar dari karya-karyanya itu. Sunan Bonang telah berhasil menarik simpati rakyat Jawa Timur dengan media musik.
Dakwah dengan berpijak pada kearifan lokal merupakan bentuk khusus dakwah kultural.
Maka tidak semua dakwah kulturan adalah  dakwah dengan berpijak pada kearifan lokal. Dakwah dalam kearifan lokal memerlukan kerja yang sungguh-sungguh dan memerlukan dukungan keilmuan yang tinggi. Namun hasilnya juga monumental.
Kearifan lokal dalam bentuk lain juga telah digali dengan mencari persamaan di antara kelompok-kelompok yang bertikai. Di Maluku yang pada akhir abad 20 menjadi daerah konflik agama, misalnya, tradisi yang menonjol yang bersifat kearifan lokal telah dijadikan media solusi mengatasi konflik sosial keagamaan. Caranya adalah dengan dilakukan kompetisi dan festival olah vokal, grup musik, dan olahraga, seperti tinju dan atletik. Patut dicatat adanya inisiatif seorang guru madrasah, Irwan Tahir Manggala, yang menggelar pertandingan sepak bola multireligius antara kelompok Muslim dan Kristen di kota Ambon. Kebanggaan atas prestasi dan semangat sportivitas yang menjadi watak asli rakyat Maluku itu diharapkan akan mempersempit jurang perbedaan. Maka kemudian kearifan lokal di Maluku telah menjadi solusi mengatasi konflik horisontal.

3.   Dakwah dengan Berpijak pada Kearifan Lokal Bakal Unggul Menghadapi Globalisasi   

Melihat fungsi kearifan lokal tersebut maka diyakini dakwah yang berpijak pada kearifan local lebih kuat menghadapi globalisasi. Bagaimana pendekatan dakwah demikian dapat diterapkan ? padahal arus globalisasi sedemikian cepat, seolah ketika dakwah yang berpijak pada kearifan lokal sedang dipikirkan dan direncanakan untuk menghadapi stasiun satu (suatu tahap globalisasi), belum lagi selesai dirumuskan dakwahnya, glabalisasi telah sampai pada stasiun dua. 
Kuncinya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Menggunakan kekuatan secara optimal. Kekuatan itu dapat menggunakan satu macam atau beberapa macam kekuatan dari kekuatan ekonomi, politik, kekayaan alam, IPTEK dan lainnya. Dan dengan kesungguhan, keuletan serta berkomitmen secara moral.
2.      Membuat rencana amal jama’i. Dakwah yang direncanakan adalah dakwah yang dapat dilakukan sebagai gerakan massa, yaitu menjadi kegiatan orang banyak. Sekalipun tidak menggunakan kaidah organisasi modern, namun penentuan aktifitasnya direncanakan yang dapat menjadi icon keunggulan budaya masyarakat setempat. Walisongo telah membuktikan dakwah dengan amal jama’i tersebut. Sekalipun tempat domisili Walisongo terbentang dari Cirebon di Jawa Barat (Sunan Gunung Jati) hingga Surabaya di Jawa Timur (Sunan Ampel), beliau-beliau itu berjejaring  berorganisasi. Ada kaidah bahwa perbuatan baik tanpa organisasi akan dikalahkan perbuatan buruk yang terorganisir.
3.      Memilih segmen kearifan lokal yang tepat akan menentukan keberhasilan dakwah. Pada tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal masing-masing. Makanya berbeda dengan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang, Sunan Kudus memilih membuat masjid yang menggunakan arsitektur hindu – masjid yang kini terkenal dengan sebutan Masjid Menoro Kudus. Bahkan kran wudlunya dibuat bentuk kepala sapi, yaitu binatang yang dihormati umat Hindu. Dan kemudian beliau membuat ajaran agar sapi tidak dipotong di wilayah kota Kudus, sebagai penghormatan kepada umat Hindu. Maka sontak Sunan Kudus mendapat simpati luas dan rakyat disitu dengan cepat masuk Islam.  Rupanya Sunan Kudus memahami adanya kebanggaan masyarakat Kudus sejak sebelum masuk Islam terkait dengan pentingnya memiliki bangunan atau arsitektur yang indah dan megah. Perlu diketahui, bahwa sejak lama di daerah itu sudah terkenal sebagai pusat perdagangan yang membuat masyarakatnya makmur dan kaya raya.
Demikianlah sumbang saran terhadap aktifitas dakwah yang diharapkan mampu menghadapi arus globalisasi. Amin ya Robbal ‘Alamin

  

Wasslam,
Rabi’ul Awwal 1432/Pebruari 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar