Translete This Blog :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 20 Mei 2011

Radikalisme Agama

Oleh: Lukmanul Hakim SThI

Baru-baru ini, serangkaian aksi teror bom dalam bentuk draf buku yang dialamatkan kepada orang tertentu membuat pihak keamanan di negara ini disibukkan kembali dan rasa aman masyarakat berubah menjadi hilang dan takut. Takut lantaran bakal terjadi pada siapa saja dan kapan saja dengan resiko yang amat berbahaya. Masalah ini makin rumit karena dikaitkan dengan agama. Agama dianggap membenarkan gerakan sekelompok orang yang memakai cara-cara teror guna mencapai tujuannya.
Bagi sebagian orang, kelompok ini dinamakan teroris, radikalis dan ekstrimis. Sedangkan paham yang melekat pada diri mereka adalah terorisme, radikalisme dan ekstrimisme. Masalahnya akan menjadi lain bila problem pelaksanaan dalam agama model ini hanya dikaitkan pda agama tertentu. Atau kelompok tertentu semata. Sebab, ia terjadi di mana saja dan pada agama manapun dalam sejarah tanpa terkecuali.
Bila kita sedikit mundur kebelakang, motip bom atau sejumlah kekerasan lainnya nyaris melibatkan agama. Sepertinya agama diseret untuk ikut terlibat dalam tindak kekerasan. Padahal, karakter agama manapun kontra dengan aksi kekerasan. Kalaupun ada toleransi untuk aksi model ini, justru agama memiliki sarat yang yang amat ketat kepada penganutnya. Sehingga sejumlah pesan dasar agama soal moral dan perdamaian bagi umat manusia dapat tercipta.
Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj, Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) dan Ermaya (2004:1), mereka sependapat bila radikalisme tak terkait dengan agama. Hanya saja para penganutnya yang memaksa agama untuk ikut campur dalam aksi kekerasan. Bedanya, bagi Frans Magnis radikalisme dapat hilang dengan cara-cara toleran. Sementara Ermaya, sikap itu sulit hilang lantaran radikalisme merupakan aliran politik yang mengabaikan konstitusi yang ada. Dan bagi Aqil Siradj, potret radikalisme adalah garapan para pemangku agama untuk terus berjuang agar agama tak disalahgunakan oleh penganutnya yang selalu hadir dalam setiap generasi (baca: khawarij) dan (baca: futuh makkah).
Sekedar diketahui, istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
Kata “teroris” (pelaku) dan “terorisme” (aksi) berasal dari bahasa Latin “terrere” yang berarti “membuat gemetar” atau “menggetarkan.” Kata “teror” juga berarti bisa “menimbulkan kengerian.” Tentu saja kengerian di hati dan dalam pikiran korbannya. Pada dasarnya istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, pertama, pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, kedua, ketidakadilan sosial, ketiga, kemiskinan, keempat, dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan kelima, kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain
Beranjak dari diskursus di atas, dalam konteks internal ajaran agama, secara jujur kita perlu mengakui bahwa dalam agama terdapat agenda besar untuk selalu berdakwah. Perintah untuk terus dalam mengembangkan pesan agama pada semua manusia dan penerapannya di seluruh lini kehidupan. Pada fase selanjutnya, organ agama yang semula berkarakter perdamaian dan toleransi justru akan berbalik menjadi lawan antara satu agama dengan yang lainnya bila masuk pada dataran teknis. Masalahnya garapan teknis dalam agama itu merupakan perbedaan yang abadi dalam agama antara satu dengan lainnya. Maka, dari sini, perbedaan dimulai. dan bagaimana nasib perbedaan itu ketika berada di tangan para penganutnya. Semakin tajam perbedaan itu atau justru sebaliknya ia dapat dikendalikan.
Konteks eksternal agama, sejumlah tokoh agama manapun berlomba-lomba mengaktualisasi agama dalam ranah sosial. Bisa jadi masalah ini buntut dari kegagalan modernitas yang kering dari siraman spiritualitas agama. Terutama agama yang secara substansi tak memiliki aturan main dalam urusan teknis sosial kemasyarakatan. Para penganutnya, tetap bersikeras agar kekurangan itu tetap dipaksakan agar masuk dan dapat membimbing penganutnya pada urusan yang sebenarnya tak disinggung secara langsung.
Sebut saja, gerakan tokoh Katolik di Amerika Latin, Gustavo Gueterrez (Baca: Teologi Pembebasan) dengan jargon Evangalisasi. Dan gerakan tokoh Hindu India, yang merasa terpinggirkan akibat kolonialisasi dan missionarisasi Kristen hingga melemahkan kepercayaan dan tradisi agama lokal masyarakat. Ujung-ujungnya lahir gerakan Arya Samaj (himpunan masyarakat mulia) yang didirikan oleh Svami Dayananda Sarasvati (1875) dengan pengikutnya yang tersebar di seluruh pelosok India. Tujuannya sama, membela agama dan memajukan pengikutnya bersama doktrin agama.
Sama dengan Islam, khusus bagi kalangan yang menganggap jalur kekuasaan dan politik adalah yang paling tepat untuk memajukan agama dan umat Islam dari keterbelakangan saat ini. Semua cara dilakukan untuk itu. Bila tak tercapai, mereka membangun komunitas bawah tanah untuk tetap setia melaksanakan ketentuan sampai kekuasaan sesungguhnya tercipta. Untuk pengikut agama yang terakhir ini, gerakan untuk perebutan kekuasaan dan perlawanan makin naik lantaran dukungan doktrin agama yang bagi mereka sudah cukup alasan untuk bertindak.
Fakta adanya perbedaan asasi dan dapat diteruskan pada pertarungan yang membuat situasi menjadi konflik secara kasat mata dapat tercipta. Sejalan dengan itu ada benarnya dugaan Samuel F Huntington, penulis buku, The Clash of Civilization In Other World, terkait bakalan terjadi benturan antarperadaban dunia. Salah satunya bersumber dari peradaban agama besar dan implikasi penerapannya di tangan para penganutnya. Tapi ia membatasi tesisnya, benturan itu dapat dihindari bila semua pengikut agama bersikap konsisten menerapkan standar agenda bersama terkait nilai kebersamaan berupa toleransi dan demokratisasi di muka bumi ini.
Masih soal kontek eksternal agama. Realitas politik dunia saat ini makin mempertajam gerakan radikalisasi penganut agama lantaran ketidakadilan sosial. Isu agama setidaknya obat yang paling mujarab untuk membangun semangat perlawanan di kalangan mereka. Pertama, penerapan standar ganda oleh negara adikuasa dan negara maju kepada negara berkembang. Hal ini berujung pada ketergantungan negara ketiga (Baca: Antonio Gramsci) dan mengembalikan lagi praktek kolonialisasi dalam bentuk baru.
Kedua, tekanan pemimpin yang bercorak sekular masih bercokol di panggung politik. Keberadaan mereka dapat merugikan agama tertentu. Malah kebijakan mereka sering mengabaikan agama dan memojokkan agama. Potret ini membuat pengikut agama untuk bangkit melawan guna kelangsungan agama dan umatnya.
Dengan kata lain, kehadiran radikalisasi dan radikalisme adalah sesuatu yang lumrah dalam sejarah agama di dunia. Ia selalu saja muncul dari penyimpangan itu sendiri. Hanya saja perbedaan dalam teknis agama sepertinya memperbesar perbedaan dan kemudian menjadi pertikaian saat berada di tangan para pengikutnya, pada satu sisi. Sedangkan karakter perbedaan itu juga, akan semakin terbuka lebar akibat situasi politik yang menekan kelangsungan agama dan pengikutnya, pada sisi lain. Wallahu ‘a’lam bishshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar